1. Kerangka
Kerja Sistem Politik: Pendekatan Sistem
A. Pengantar: Sistem Politik dalam Suatu Kerangka Analisis Sistem
Ide ilmu sistem muncul dari
disiplin biologi yang dipelopori oleh Bertalanffy pada tahun 1940. Dalam dunia
praktis, ilmu sistem ini diaplikasikan oleh banyak disiplin ilmu yang berbeda,
yaitu diantaranya para ilmuwan sosial. Misalnya salah satu ilmuwan politik,
David Easton pada tahun 1950-an telah mengembangkan kerangka kerja, yang
kemudian ia sebut sebagai pendekatan sistem politik.
Melalui pendekatam sitem
politik, suatu masyarakat tidak dilihat hanya terdiri atas satu sistem
(misalnya sistem politik saja), melainkan terdiri atas multisistem. Perbedaan
dari sistem-sistem ini adalah dari kegiatan-kegiatan yang mendukung
proses-proses masing-masing sistem. Sistem politik menyangkut proses-proses dan
kegiatan politik, sementara sistem ekonomi adalah proses-proses yang melibatkan
kegiatan-kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pendekatan sistem berpegangan
pada prinsip bahwa tidak mungkin untuk memahami suatu bagian masyarakat secara
terpisah dari bagian-bagian lain yang mempengaruhi operasinya. Gagasan inilah
yangmenjadi pusat utama kerangka teori sistem politik yang dikembangkan David
Easton. Sebagai contoh mungkin si A lebih tertarik untuk menganalisis dampak
lingkungan internal (domestik). peran partai politik, atau budaya politik dalam
pemrintahan. Dalam konteks ini, Easton mengemukakan, bahwa ketika kita mulai
berbicara tentang kehidupan politik sebagai sistem kegiatan, maka akan muncul
konsekuensi terhadap cara yang dapat kita ambil dalam melakukan analisis kerja
suatu sistem.
Kerangka Pikir Sistem Politik dari David Easton
David Easton adalah salah satu
ilmuwan yang telah berupaya membangun ilmu politik yang sistematis melalui dua
tahap, yaitu: Pertama, melalui tulisan
ilmiahnya “The Political System” pada
tahun 1953, menyatakan bahwa perlunya suatu teori umum dalam ilmu politik.
kedua, dalam tulisan ilmiah lainnya “A System
Analysis of Political Life” pada tahun1965, ia mulai memperkenalkan konsep
serta merinci konsep-konsep yang mendukung tulisan sebelumnya, dan mencoba
mengaplikasikan ke dalam kegiatan politik konkret atau praktis.
Easton menyatakan ada empat
asumsi yang mendasari bangunan pemikirannya yang bersifat umum dalam mengkaji
suatu sitem politik, yaitu :
1.
Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kontruksi,
atau bangunan yang sistematis untuk mensistematiskan (menyusun) fakta-fakta,
atau data-data yang ditemukan.
2.
Para pengkaji kehidupan politik harus memandang
sistem politik sebagai keseluruhan (sistem), bukan parsial, atau
bagian-bagian yang terpisah satu sama
lain.
3.
Riset sistem politik terdiri atas dua jenis
data: data psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri atas
karakteristik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas senua aktivitas
muncul akibat pengaruh lingkungan. pengaruh ini muncul dari lingkungan fisik
(topografi, geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora, fauna) dan
lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksi).
4.
Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu
disequilibrium (ketidakseimbangan).
B. Pengertian Sistem
Sistem secara etimologi menurut
Webster’s New Collegiate Dictionary terdiri dari kata “syn” dan “histanai” dari
kata greek, yang berarti to place
together—menempatkan bersama.
Advanced Leaner’s Dictionary
dalam Sukarna (1977:13) menjelaskan pengertian sistem adalah: ‘’ System is a group of facts, ideas,
beliefs etc arranged in an orderly way as a system of philosophy’’(sistem
adalah kumpulan fakta-fakta, pendapat-pendapat, kepercayaan-kepercayaan dan
lain-lain yang disusun dalam suatu cara yang teratur; seperti sistem filsafat).
Sistem adalah sekumpulan
objek(objectives) (unsur-unsur, atau bagian-bagian) yang berbeda-beda (diverse)
yang saling berhubungan (intrerrealated), saling bekerja sama (jointly) dan
saling mempengaruhi (independently) saru sama lain serta terikat pada rencana
(planned) yang sama untuk mencapai tujuan (output) tertentu dalam lingkungan
(environment) yang kompleks.
untuk mengetahui apakah segala
sesuatu itu dapat dikatakan sistem maka harus mencakup lima unsur utama, yaitu:
1.
Adanya sekumpulan objek (objectives)
(unsur-unsur, atau bagian-bagian, atau elemen-elemen)
2.
Adanya interaksi atau hubungan
(interrealatedness) antar unsur-unsur (bagian-bagian, elemen-elemen).
3.
Adanya sesuatu yang mengikat undur-unsur
(working independently and jointly) (bagian-bagian, elemen-elemen saling
tergantung dan bekerja sama) tersebut menjadi suatu kesatuan (unity).
4.
Berada dalam suatu lingkungan (environtmen) yang
kompleks (complex)
5.
terdapat tujuan bersama atau (output), sebagai
hasil akhir
C. Pengertian Politik
Dalam catatan sejarah, orang
yang pertama kali mengenlkan kata politik, adalah aristoteles (384-322 S.M)
seorang filsuf yunani kuno. ia mengemukakan bahwa ‘’manusia adalah binatang
politik’’. berangkat dari asumsi tersebut,, bahwa hakikat kehidupan sosial
sesungguhnya merupakan politik, karena interaksi satu sama lain dari dua atau
lebih orang sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. hal ini merupakan
kecenderungan alami dan tak dapat dihindarkan oleh manusia, dan hanya sedikit
orang yang cenderung mengasingkan dirinya daripada bekerja sama dengan orang
lain.
Polis adalah suatu organisasi
kekuasaan yang diberi wewenang untuk mengurus kesatuan masyarakat dengan menciptakan tata tertib dalam
kehidupan bersama di dalam wilayah
negara.
Dari kata polis tersebut dapat
diketahui, bahwa “politik” merupakan
istilah (terminologis) yang digunakan untuk konsep pengaturan masyarakat, yaitu
berkaitan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah
masyarakat politik atau negara yang paling baik. polis ini mempunyai tujuan
untuk memberikan kehidupan yang baik bagi warga negaranya.
Berangkat dari kata polis tersebut, diturunkan beberapa
kata-kata lainnya, seperti :
-
Politeia :
yang berarti segala hal ikhwal mengenai polis atau negara
-
Polities :
yang berarti warga polis, warga negara.
-
Politicos :
yang berarti ahli negara, negarawan.
-
Politica :
yang berarti pemerintahan negara.
-
Politike tekne :
yang berarti untuk kemahiran politik
-
Politike epistime : yang berarti untuk ilmu politik
Miriam Budiardjo (2000: 8)
mengemukakan pengertian politik adalah: “Pada umumnya dikatakan bahwa politik
(politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau
negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu.”
Menutrut Kartini Kartono (1989:
5-6), dilihat dari struktur dan kelembagaan politik dapat diartikan sebagai
sesuatu yang ada relasinya dengan pemerintahan (peraturan, tindakan,
pemerintahan, undang-undang, hukum, kebijakan, atau policy, dan lain-lain),
yakni:
-
Pengaturan dan penguasaan oleh negara.
-
Cara memerintah suatu teritorium tertentu.
-
Organisasi, pengaturan, dan tindakan negara atau
pemerintahan untuk mengendalikan negara secara konstitusional dan yuridis
formal.
-
Ilmu pengetahuan tentang kekuasaan.
D. Pengertian Sistem Politik
Sistem politik adalah suatu
keseluruhan komponen-komponen atau lembaga-lembaga yang berfungsi dibidang
politik yang kegiatannya menyangkut penentuan kebijakan umum (public policies) dan bagaimana
kebijakan itu dilaksanakan, yaitu hal-hal yang menyangkut kehidupan negara atau
pemerintahan.
Dengan demikian cakupan studi
sistem politik itu pada dasarnya menunjuk kepada ke seluruh lingkup aktivitas
politik, yaitu membahas hubungan dan interaksi antara lembaga-lembaga (supra
struktur politik: legistlatif, eksekutif, yudikatif, dan infrastruktur politik:
partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, alat komunikasi
politik, tokoh politik).
Alasan untuk menggantikan kata
negara , pemerintahan, dan bangsa dengan sistem politik, didasari pada
pendekatan perilaku dalam masyarakat, yaitu bahwa perilaku politik adalah
bagian dari perilaku sosial.
Masyarakat merupakan suatu
sistem sosial yang terdiri berbagai macam proses. Proses ini dapat dilihat dari
gejala-gejala politik sebagai suatu kumpulan proses tersendiri yang berbeda
dengan proses-proses lainnya. dengan kata lain, di dalam masyarakat ada berbagai sistem, misalnya
salah satunya sistem politik.
Dalam pendekatan sistem, sistem
politik adalah subsistem dari sistem sosial. karena itu pendekatan sistem melihat
keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem, yakni suatu unit yang
relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap
diantara elemen-elemen pembentuknya. jadi pengertian sistem politik
pertama-tama dapat dipahami adalah suatu sistem hubungan antara manusia dalam
suatu negara tertentu.
E. Defenisi Sistem Politik
Menurut Robert Dahl dalam Sri
Soemantri (1976: 2) mengemukakan
pengertian sistem politik adalah: A
political system is any persistent pattern of human relationships that involves
to a significan extent, power, rules or authority.
Selanjutnya,
Sri Soemantri menguraikan un sur-unsur
yang terdapat dalam rumusan Robert Dahl tersebut. Pertama-tama, sistem politik suatu negara merupakan satu pola yang tetap
daripada hubungan antaramanusia. Dengan kata lain, sistem politik
pertama-tama adalah suatu sistem hubungan antara manusia dalam satu negara
tertentu.
Sementara itu Almond dalam
Sukarna (1977: 15) mengatakan:
Politcal system typically perform the functions of maintaining the
integration of society, adapting
and changing the elements of the kinahip, religious and economic system, protecting the intregrity of political system
from outside treats, or expanding into and attacking
in other societies.
(Sistem politik
pada hakikatnya melaksanakan fungsi-fungsi mempertahankan kesatuan masyaraka,
menyesuaikan dan mengubah unsur pertautan hubungan, agama dan sistem ekonomi,
melindungi kesatuan politik dan ancaman-ancaman dari luar atau mengembangkannya
terhadap masyarakat lain atau menyerangnya).
David Easton
dalam Sukarna (1977: 15-16) mengajukan suatu defenisi sistem politik yang
terdiri dari 3 unsur:
1.
The Political system allocates values (by means
of policies) {Sistem politik menetapkan nilai (dengan cara kebijakan)}.
2.
Its allocation are authiritive, and
(Penetapannya bersifat paksaan atau dengan kewenangan), dan
3.
Its authoritive allocations are binding on the
society as a whole (Penetapan yang bersifat paksaan itu tadi mengikat
masyarakat secara keseluruhan).
Dari beberapa pendapat sistem
politik, menunjukkan adanya unsur:
Ø
Pola yang tetap dari hubungan antar manusi, yang
dilembagakn dalam berbagai macam-macam badan politik (baik berupa supra
struktur politik: eksekutif, legistlatif, dan yudikatif) maupun infrastruktur
politi: Partai politik Golongan Kepentingan, Golongan Penekan, Alat Komunikasi
Politik, dan Tokoh Politik).
Ø
Kebijakan yang mencakup pembagian atau
pendistribusian barang-barang materiil dan immateriil untuk menjamin
kesejahteraan. Atau membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai negara secara
mengikat.
Ø
Penggunaan kekuasaan atau wewenang untuk
menjalankan paksaan fisik secara legal.
Ø
Fungsi integrasi dan adaptasi terhadap
masyarakat baik ke dalam maupun keluar.
F. Ciri-ciri (Atribut) Sistem Politik
Menurut Easton ada 4 ciri atau atribut yang perlu
diperhatikan:
1. Unit-Unit dan Batasan-batasan Suatu
Sistem Politik
Unit-unit ini adalah
lembaga-lembaga yang bersifat otoritatif untuk menjalankan sistem politik
seperti legistlatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat
sipil dan sejenisnya. Unit-u nit ini bekerja di dalam batasan sistem politik,
misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sebagainya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari
masyarakat ke dalam sistem politik. yaitu berupa tuntutan dan dukungan. Output
adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun
dukungan masyarakat.
3. Diferensiasi dalam Sistem
Sistem
yang baik haruslah memiliki diferensiasi (pembedaan/pemisahan) kerja. Di masa
modern adalah tidak mungkin satu lembaga menyelesaikan semua masalah.
4. Integrasi dalam Sistem
Integrasi adalah keterpaduan
kerja antarunit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Unit-unit dalam
sistem politik menurut Easton adalah tindakan
politik (political actions), misalnya pembuatan UU, pengawasan DPR
terhadap presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan
sejenisnya.
Untuk memahami sistem politik
lebih jauh lagi baiklah kita lebih lanjut dengan pikiran Meriam O. Irish dan
James W. Protho dalam Sukarna (1977: 19-20) mengemukakan :
Sistem mempunyai bagian-bagian atau unsur-unsur yang hampir mempunyai kesamaan. Unsur-unsur
sistem politik ialah tindakan-tindakan politik, yang kesemua tindakan-tindakan
ini merupakan pelaksanaan kebijakan berdasarkan kewenangan. Tindakan-tindakan
ini cenderung untuk menimbulkan adanya
struktur politik baik dalam peranannya maupun kelomponya.
Suatu sistem menunjukkan suatu
keseluruhan yang hampir kesamaan (indentifiable). mengandung arti bahwa sistem
mempunyai ikatan-ikatan yang wajar, lagi pula dalam tingkatan tertentu
kegiatan-kegiatan sistem ini adalah terpadu dan terkoordinasi.
Unit-unit tertentu dari suatu
sistem saling tergantung. Tiap bagian saling mempengaruhi satu sama lain.
Walaupun ada perbedaan atau pembagian tugas, tetapi pelaksanaan tugas suatu
bagian sebenarnya merupakan pelaksanaan pula dari tugas-tugas bagian lain.
2. Analisis Sistem
Politik: Pendekatan Budaya Politik
A. Pengantar
Timbulnya perhatian terhadap
budaya politik, karena adanya kesadaran dari para ahli politik, bahwa ilmu
politik saja tidak akan mampu menerangkan gejala-gejala yang terjadi , tanpa
bantuan dari disiplin ilmu lainnya.
Abraham Maslow dalam Luthans
(1995) dengan teorinya yang dinamakan “a
theory of human motivation” . Maslow menjelaskan lima jenjang kebutuhan
pokok manusia tersebut:
1.
Kebutuhan dasar atau fisiologis (physiological
needs/basic needs), yaitu kebutuhan mempertahankan hidup: Mencakup sandang,
pangan dan papan, serta seks, dan kebutuhan pegawai lainnya.
2.
Kebutuhan Rasa aman (safety needs/security
needs), yaitu mencakup keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik,
perlakuan yang adil, jaminan hari tua.
3.
Kebutuhan sosial (social needs), yaitu tampak
pada kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, rasa dimiliki, dan rasa
persahabatan.
4.
Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), yaitu
nencakup faktorhormat eksternal seperti misalnya status, pengakuan, dan
perhatian.
5.
Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (self
actualization), yaitu mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya, dan
pemenuhan diri.
Menurut Dennis Kavangh
(terjemahan Lailahanoum Hasyim, 1982: 10-11), ada dua alasan budaya politik
dipelajari, yaitu:
1.
Sikap warga negara terhadap sistem politik jelas
memengaruhi macam-macam tuntutan-tuntutan yang diminta, cara tuntutan-tuntutan
itu diutarakan, respons dan golongan elit cadangan dukungan yang baik terhadap
rezim yang berkuasa, pokonya orientasi-orientasi yayang menentukan pelaksanaan
sistem politik. Misalnya, tuntutan yang diminta pada sistem respons terhadap
undang-undang dan permintaan dukungan, serta tingkah laku individu dalam
peranan politik mereka.
2.
Dengan mengerti akan sifat dan hubungan antara
kebudayaan politik dan pelaksanaan sistemnya, kita akan lebih dapat menghargai
cara-cara yang mungkin membawa perubahan-perubahan politik yang pesat.
Gabriel
A. Almond dan Bingham G. Powell dalam Kantaprawira (1980: 29) berdasarkan
pengamatannya melukiskan bahwa kebudayaan politik juga terdapat dalam sistem
politik masyarakat eskimo, yang hidup tersebar dalam kelompok-kelompok kecil
mulai selat Bering antara Alaska dan Seberia sampai Tanah Hijau di Antlantik
Utara mereka boleh dikatakan masih “sederhana”, kalau tidak tidak hendak
disebut masih primitif.
B. Pengertian Budaya
Culture istilah bahasa asing
sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari
kata latin ‘’colere” berarti mengelolah atau mengerjakan, yaitu
mengelolah tanah atau bertani. Culture diartikan sebagai segala daya dan
kegiatan manusia untuk mengelolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat dalam
Soekanto, 1969: 55).
E.B Tylor dalam Soekanto (1996:
55) memberikan definisi mengenai kebudayaan ialah: “kebudayaan ialah: ‘’
Kebudayaan adalah kompleks yang pengetahuan kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.”
Selo Soemardjan dan Soelaeman
Somardi dalam Soekanto (1996: 55) merumuskan “kebudayaan sebagai semua hasil
karya, rasa dan cipta masyarakat.’’
Oleh karena itu, setiap
masyarakat terdapat apa dinamakan pola-pola perilakuan (pattern of behavior).
Pola-pola perilakuan tersebut adalah cara-cara bertindak atau berkelakuan yang
sama daripada orang-orang hidup bersama dalam masyarakat yang harus diikuti
oleh semua anggota masyarakat tersebut.
Pola perilakuan masyarakat
sangat dipengaruhi oleh kebudayaannya. Jadi, kebudayaan adalah mengatur agar
manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat menentukan
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.
C. Pengertian Budaya Politik
Terminologi budaya politik
memang banyak dan aneka ragam, namun memilik makna hampir sama.
Pertama Roy Macridis
mengemukakan bahwa politik adalah: ‘’sebagai tujuan bersama dan peraturan yang
diterima bersama.”kedua, menurut Samuel Beer, menyebutkan komponen-komponen
budaya politik adalah: ‘’nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang
bagaimana pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus
dilakukan pemerintah itu.”
Ketiga, Robert Dahl menyebutkan
unsur-unsur budaya politik yang penting adalah:
1.
orientasi pemecahan masalah-masalah, apakah
mereka pragmatis ataukah rasionalistis
2.
orientasi terhadap aksi bersama, apakah mereka
bersifat kerja sama atau tidak (ko-operatif atau non ko-operatif).
3.
orientasi terhadap sistem politik, apakah mereka
setia atau tidak
4.
oerientasi terhadap orang lain, apakah mereka
bisa dipercaya atau tidak.
selain
itu Gabriel A. Almond dalam Ismid Hada (1981:7) mengemukakan bahwa budaya
politik adalah “suatu pola orientasi yang khusus dari tindakan politik yang
sudah tertanam dalam setiap sistem
politik.”
Sementara
itu, Almond dan Verba (1963) dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang
dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa
budaya politik mengandung tiga komponen objek politik sbb:
1.
Orientasi kognitif: yaitu berupa pengetahuan
tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta
input dan outputnya.
2.
Orientasi afektif: yaitu perasaan terhadap
sistem politik, peranannya, para aktor (politisi) dan penampilannya, dan
lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legistlatif, dan
yudikatif).
3.
Orientasi evaluatif: yaitu keputusan dan
pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan standar
nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan, misalnya tampak saat pemilu.
Contoh Operasionalisasi tiga komponen objek budaya politik
Mengenai
orientasi kognitif adalah pengetahuan, yaitu bagaimana warga atau individu
mengetahui hak dan kewajibandalam pemilihan umum misalnya. Funsi parpol adalah
menjalankan fungsi pendidikan politik, dan juga didalam UU Partai Politik telah
ditegaskan, bahwa parpol diwajibkan untuk melakukan pendidikan politik.
Namun disayangkan, di Indonesia penampakan elit
partai politik atau parpol hanya ketika menjelang pemilu saja.
Padahal, Menurut UU No. 2/2008 tentang Partai Politik,
Pasal 31 dikemukakan partai politik melakukan pendidikan politik:
1. Partai politik melakukan pendidikan politik
bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung
jawabnya denagn mempengaruhi keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: a). meningkatkan
kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. b).
meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan c). meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun
karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan
dan kesatuan bangsa.
2. Pendidikan politik sebagaimana yang
dimaksudkan ayat (1) dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.
Partai politik juga memiliki fungsi
sosialisasi politik, yaitu proses penyampaian nilai-nilai dan norma-norma
kepada generasi muda dan anak-anak untuk mengenal kehidupan politik.
Dengan demikian, budaya politik yang
berkembang pada suatu masyarakat hakikatnya merupakan produk dari sosialisasi
politik yang secara kontinu yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Melalui sosialisasi politik, masyarakat
dapat belajar tentang politik, sehingga mampu dapat menentukan sikap terhadap
lembaga-lembaga tertentu dan bahkan dimanifestasikannya dalam bentuk perilaku
politik.
Orientasi evaluatif merupakan campuran
antara orientasi kognitif dan afektif di dalam bentuk keputusan atau tindakan.
D. Tipe Budaya Politik
Menurut Almond dan Verba, budaya
politik memiliki tipe-tipe tersendiri. keduanya menyimpulkan bahwa terdapat
tiga budaya politik yang dominan di tengah individu.
Tipe-tipe budaya
politik menurut Almond dalam Kantaprawira (1980: 34 ) mengklasifikasikan
sebagai berikut:
1.
Budaya politik parokial, yaitu tingkat
partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (
misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
2.
Budaya politik Kaula, yaitu masyarakat yang
bersangkutan sudah relatif maju ( baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih
bersiafat pasif.
3.
Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik
yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi
Tabel
2.1 Klasifikasi Budaya Politik
No.
|
Budaya Politik
|
Uraian
|
1.
|
Parokial (parocialpolitical culture)
|
Ø
Terbatas
pada wialayah atau lingkup kecil, sempit, misalnya bersiafat provinsi.
Ø
Terbatasnya
diferensiasi tidak terdapat peranan politik bersifat khas dan berdiri
sendiri.
Ø
Frekuensi
orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek-objek input (intensitas
pengetahuan dan perbuatan tentang proses penyaluran segala tuntutan yang
diajukan atau diorganisasi oleh masyarakat, termasuk prakarsa menerjemahkan
atau versi tuntutan-tuntutan tersebut, sehingga menjadi kebijakan yang
otoritatif sifatnya).
Ø
Kaum
parokial tidak megharapkan apapun dari sistem politik
Ø
Parokialisme
murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana di mana
spesialisasi politik berada pada jenjang yang sangat minim.
Ø
Parokialisme
dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif
daripada kognitif.
Ø
Yang
menonjol dalam budaya politik parokial adalah adanya kesadaran anggota
masyarakat akan adanya pusat kewenangan/kekuasaan politik dalam masrakatnya.
|
2.
|
Subjek/Kaula (subject political culture).
|
Ø
Terdapat
diferensiasi dan ferkuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem
politik misalnya mengenai output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi
terhadap objek-objek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai
partisipan yang aktif (sebagai aktor politik) mendekati nol.
Ø
Orientasi
mereka yang nyata terhadap objek politik dapat terlihat dari pernyataannya,
baik berupa kebanggaan, ungkapan sikap mendukung maupun sikap bermusuhan
terhadap sistem, terutama terhadap aspek outputnya.
Ø
Posisinya
sebagai Kaula, pada umumnya dapat dikatakan positif pasif.
Ø
Para
subjek menyadari akan otoritas pemerintah.
Ø
Hubungannya
terhadap sistem politik secara umum, dan terhadap output. administratif
secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
Ø
Sering
wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang
terdiferensiasikan.
Ø
Orientasi
subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan (participant political culture)
|
Ø
Ditandai
bahwa seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam
kehidupan politik.
Ø
Seseorang
tidak begitu saja menyerah, tunduk, disiplin mati terhadap keadaan, karena ia
merupakan salah satu mata rantai aktif proses politik.
|
3. Struktur Politik dan Fungsi Politik
A. Pengantar
Sistem politik melaksanakan berbagai
aktivitas yang ditujukan untuk meraih tujuan-tujuan bersama yang telah
dirumuskan tersebut. Misalnya, melaksanakan perang atau mendorong perdamaian
dan sebagainya.
Untuk melaksanakan aktivitas
yang kompleks, maka sistem politik memerlukan struktur-struktur yang akan
bekerja dalam sistem politik seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan
partai politik melaksanakan fungsi-fungsi tertentu. Menurut Almond pelaksaan
fungsi-fungsi inilah yang pada akhirnya membuat sistem politik dapat bekerja, dalam
arti mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya.
B. Pendekatan dalam Analisis Sistem Politik: Pendekatam Struktural- Fungsional
Pendekatan
struktural-fungsional Gabriel A. almond, yaitu:
1. kekuasaan
yang ditunjukkan kepada negara identik dengan infrastruktur politik, dan
2. kekuasaan
yang ada di dalam negara sama dengan supra struktur politik
Sejalan
dengan hal ini, Robert Dahl dalam Sri Sumantri(1976:4), bahwa sistem politik
adalah suatu sistem hubungan antara manusia yang dilembagakan dalam
bermacam-macam badan politik, baik supra strutur maupun infra struktur.
Supra
struktur politik merupakan bangunan atau tata hubungan kekuasaan yang dipandang
sebagai pembagian kekuasaan secara horizontal-fungsional yang ada dalam negara
yang bersangkutan, yaitu merupakan mesin politik resmi, atau mesin politik
formal, yaitu bidang kekuasaan negara atau pemerintahan yang terdiri dari
kekuasaan legistlatif, eksekutif, dan yudikatif.
Infra
struktur politik adalah struktur politik masyarakat, yang merupakan struktur,
atau bagunan, pranata yang tampak jelas, atau tidak terlihat wujudnya, namun
keberadannya dapat dirasakan karena adanya fungsi-fungsi yang mengalir. atau
infra struktur politik merupakan mesin politik tidak resmi, atau mesin politik
informal (masyarakat), yaitu bidang kekuasaan di luar pemerintah yang terdiri dari kekuasaan
kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), dan
partai politik serta media massa dan tokoh politik.
C. Pengertian Struktur dan Struktur Politik
Menurut Kantaprawira (1983: 44),
struktur adalah “pelembagaan hubungan organisasi antara komponen-komponen yang
membentuk bangunan itu.”
Selanjutnya Kantaprawira
menjelaskan bahwa struktur politik sebagai salah satu species struktur pada
umumnya, selalu berkenaan pada alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif,
yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.
Dalam konteks ini, kekuasaan
(power) menurut Russel dalam Affandi yang (1977: 80) merupakan substansi pokok dalam
ilmu politik, seperti yang dikemukakannya:
(Konsep
mendasar dalam ilmu sosial adalah kekuasaan, seperti halnya energi dalam konsep
ilmu alam, tanpa energi takkan ada sesuatu yang terjadi).
Pemahaman diatas menunjuk pada
kekuasaan.
D. Hubungan Kekuasaan (Power) dengan Pengertian Konsep Pengaruh (Influence), Kekuatan (Force), dan kewibawaan (Authority)
Pengaruh (Influence) adalah
merupakan kekuasaan psikologis yang menunjukkan adanya kesan dari pribadi
seseorang atas orang lain.
Pengaruh ini dapat didasarkan
atas berbagai faktor objektif atau faktor-faktor subjektif seperti erotis,
kepandaian atau kemahiran artistik.
Kekuatan (force) adalah gejala sosial sebagai kekuasaan fisik, sebagai
kekuasaan yang disertai dengan kekerasan atau daya paksa fisik atau
ancaman-ancaman fisik lainnya.
Memang force itu adalah salah satu aspek kekuasaan dari segala bentuknya,
walaupun force itu tidak perlu senantiasa dilaksanakan secara aktual, melainkan
mungkin juga ada secara potensial saja.
Kalau dihubungkan dengan negara (kekuasaan politik) berarti negara
berwenang menggunakan kekuatan untuk melaksanakn kekuasaannya. Negara adalah
pemegang monopoli yang dari pemakaian kekuatan fisik yang didasarkan atas
legitimasi.
Dengan demikian, hubungan kekuasaan dengan kekuatan hanyalah bersifat
hubungan supplementer, yakni bahwa kekuasaan melengkapi kekuatan. Tapi ini juga
tidak berarti seakan-akan kekuasaan
identik dengan kekuatan. Karena
kekuasaan tidak akan bertahan lama, apabila hanya didasarkan atas kekuatan
berlaka.
Kewibawaan (Authority), merupakan gejala sosial diakibatkan oleh hidup
bermasyarakat. Dalam pembahasan disini kenyataan gejala kewibawaan hanya
dibatasi sebagai konseo politik. Kewibawaan senantiasa mencakup unsur
penerimaan, dari pihak yang menjadi objek kewibawaan itu. Penerimaan atau
persetujuan itu diperlukan demi stabilitas dan kelestarian kekuasaan itu
sendiri.
Menurut Soltau Authority (otoritas) adalah hak untuk mengarahkan dan
memerintah, hak untuk didengar dan diturut, kekuasaan adalah kekuatan yang
memungkinkan orang untuk memaksa orang lain tunduk kepadanya).
Berdasarkan uraian di atas,
jelas tampak adanya hubungan antara kekuasaan (power) dan kekuatan fisik
(force), seperti negara sebagai organisasi
tertinggi yang telah memiliki monopoli kekuasaan, yang berhak atau
memiliki wewenang (Authority) untuk menjalankan paksaan fisik secara legal.
E. Supra Struktur Politik (Dalam Teori Pembagian Kekuasaan)
Secara teoritis, Pembagian
fungsi negara didasarkan pada asumsi, bahwa adanya pemusatan kekuasaan pada
satu tangan.
Dalam konteks ini, istilah
pembagian kekuasaan terdiri dari “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut KBBI
pembagian memliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau
memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain.
Ide pembagian kekuasaan tersebut
bersumberkan: pertama, pada pendapat John locke, dalam bukunya yang berjudul
Treaties of Goverment tahun 1690
mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang
berbeda-beda. Pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam
kekuasaan yaitu:
1.
Kekuasaan Legistlatif (membuat undang-undang)
2.
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3.
Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain).
Kedua,
bersumberkan pada pendapat Montesquieu, ia sesorang pemikir berkebangsaan
prancis mengemukakan teorinya yang disebut Trias politica. Menurut Montesquieu,
untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam
tiga organ, yaitu:
1.
Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2.
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan
undang-undang).
3.
Kekuasaan Yudikatif (mengadili bila terjadi
pelanggaran atas undang-undang).
Dalam
teori pembagian kekuasaan menurut “john locke” atau montesquieu” yang telah
dikemukakan diatas, ternyata ada dua aspek penafsiran, yaitu pertama disebut
“separation of power” dan yang kedua “distribution of power” konsep Separation
of Power diartikan sebagai pemisahan secara tegas fungsi legistlatif, eksekutif,
dan yudikatif.
Oleh
karena lembaga politik tersebut menjalankan fungsinya masing-masing maka tidak
terjadi overlapping dalam menjalankan fungsinya. Ketiga lembaga memiliki
kekuasaan yang sama kuat dan tidak ada celah untuk saling mencampuri, sehingga
akan terjadi keseimbangan dalam kekuasaan atau disebut “Balance of Power”.
Dengan
terpisahnya tiga kewenangan di tiga lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan
jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan
oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling
koreksi, saling mengimbangi).
4. Proses Sistem Politik Indonesia
A. Pengantar
Keberhasilan sistem politik
dalam menghadapi tantangan tergantung pada kapabilitas (kemampuan) sistemnya.
Easton maupun Almond (1967): maka dalam sistem politik menunjukkan adanya unsur fungsi integrasi dan adaptasi
terhadap masyarakat ke dalam maupun keluar.
B. Kapabilitas Sistem Politik
Menurut Gabriel Almond (dalam
Cantori 1974, lihat pula dalam chilcote, 1981), konsep kapabilitas sistem
politik merupakan Penggunaan Konsep kapabilitas akan berguna jika kita hendak melihat bagaimana kinerja sebuah
sistem politik, termasuk bagaimana perubahan-perubahan dalam kinerja mereka.
ada enam kategori kapabilitas
sistem politik yang didasarkan pada klasifikasi input dan output sistem
politik, yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik sebagai berikut:
1.
Kapabilitas Ekstraktif
Kapabilitas
Ekstraktif yaitu ukuran kinerja sistem politik dalam mengumpulkan sumber daya
alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) dari lingkungan domestik maupun
internasional. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal
oleh pemerintah.
2.
Kapabilitas Distributif
Kapabilitas
Distributif adalah ukuran kinerja sistem politik yang ada kaitannya dengan
kemampuan dalam mengolah SDA sedemikian rupa yang dimiliki masyarakat dan
negara dan hasilnya menjadi pemasukan bagi anggaran pemerintah pusat maupun
daerah, dan penggunaannya didistribusikan secara merata kepada masyarakat yang
disesuaikan dengan rupa-rupa kebutuhan
masyarakat.
3.
Kapabilitas Regulatif
Kapabilitas
Regulatif (pengaturan), adalah suatu ukuran kinerja sistem politik dalam
menyelenggarakan pengawasan tingkah laku individu dan kelompok yang berada
didalamnya, maka dibutuhkan adanya pengaturan. Misalnya, bagaimana sistem
politik melalui Undang-Undang Dasar,
memiliki daya jangkau pengaturan yang mampu memberikan pengaruh kepada
kehidupan individual maupun kolektif.
4.
Kapabilitas Simbolik
Kapabilitas
Simbolik adalah ukuran kinerja sistem politik dalam kemampuan mengalirkan
simbol dari sistem politik kepada lingkungan intra-masyrakat maupun ekstra
masyarakat. Kapabilitas simbolik dapat dibedakan dengan output simbolik, Output
simbolik misalnya pameran kekuatan dan upacara militer, kunjungan pejabat tinggi.
5.
Kapabilitas Responsif
Kapabilitas
Responsif adalah ukuran kinerja sistem
politik yang merujuk seberapa besar daya tanggap sistem politik terhadap setiap
tekanan yang berupa tuntutan baik dari lingkungan intra-masyarakat (domestik)
maupun ekstra masyarakat (internasional). Karena itu, di dalam suatu sistem
politik, bahwa kapabilitas responsif ditentukan oleh hubungan antar input dan
output.
6. Kapabilitas Dalam Negeri dan Luar Negeri
Kapabilitas
Dalam Negeri dan Luar Negeri adalah ukuran kinerja sistem politik yang merujuk bahwa sejauh mana
kapabilitas suatu sistem politik dapat berinteraksi dengan lingkungan domestik
dan lingkungan internasional. Sebuah negara tidak dapat sendirian hidup dalam
dunia mengglobal, sehingga kapabilitas domestik dari sistem politik sedikit
banyak akan dipengaruhi oleh kapabilitas internasionalnya.
terima kasih atas artikelnya semoga dapat menambah pengetahuan serta wawasan
BalasHapusSama", semoga bermanfaat ya
Hapus