Jumat, 15 Mei 2015

Makalah ETIKA BIROKRASI & ADMINISTRASI NEGARA

ETIKA BIROKRASI & ADMINISTRASI NEGARA

I.       Pengertian
            Istilah birokrasi sering disebut-sebut di masyarakat, sayangnya istilah itu disalah artikan. Hal ini yang tergambar di benaknya tentang birokrasi ialah urusan yang berbelit-belit, pengisian formulir, pengurusan ijin, pengurusan yang lainnya yang melalui banyak kantor, banyak meja, aturan yang berbelit-belit.
            Kalau dilihat dari etimologi istilah birokrasi berasal dari kata Yunani Bureau yang artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Birokrasi sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanan pelayanan public,sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi adalah suatu tipe dari organisasi yang dimaksud untuk mencapai tugas-tugas administrative yang besar dengan cara mengkordinasikan secara sistimatis (teratur) pekerjaan-pekerjaan banyak orang.
            (Peter M Blau :& Marsal W Mayer (1956) Birokrasi mula-mula dibentuk warga supaya keputusan-keputusan pemerintah dapat dilaksanajan dengan sistematis melalui aparat Negara. Keputusan-keputusan politis akan bermanfaat begi setiap Negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang tanggap, sistematis dan efesien.
            Selanjutnya Peter M Blau mengatakan bahwa birokrasi adalah organisasi yang memaksimemkan efesiensi dalam adminitratif, sekaligus menyarankan agar istilah ini digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrative dari organisasi, dengan demikian tujuan organisasi dapat dicapai dengan stabil. Peter Leonard secara singkat mengatakanbahwa birokrasi adalah organisasi yang rational yang melaksanakan tugas-tugas berdasarkan manajemen ilmiah. Oleh karana itu birokrasi dilaksanakan dimana saja baik di Lingkungan pemerintah maupun swasta.
            Biro (bureau) merupakan bentuk organisasi, Menurut Downs (1967) diartikan sebagai bentuk organisasi yang memiliki empat karakteristik utama sbb:
·         Organisasi bersekala besar, memiliki jumlah anggota yang besar.
·         Mayoritas diantara anggota organisasi bekerja secara full time yang menggantungkan pekerjaan pada organisasi untuk mendapatkan panghasilan, diantara mereka memiliki kompetisi yang tinggi dalam memberikan layanan
·         Promosi dalam biro didasarkan atas penilaian kinerja mereka sesuai dengan peran yang dimainkan dalam organisasi, bukan didasarkan atas factor agama, suku, ras. Golongan social dan hubungan keluarga yang secara periodik, memilih pegawai yang berasal dari luar birokrasi.
·         Hasil utama bukan dinilai secara langsung dalam pasar dimana tempat terjadinya transaksi secara sukarela.
            Birokrat sering digunakan dengan berbagai konotasi . Secara individual birokrat dapat di cirikan efesien, jujur, bekerja keras, teliti, public spirit dan nilai- nilai yang pada umumnya berbeda dengan non birokrat.
            Downs akhirnya menyimpulkan bahwa birokrasi itu memiliki tiga pengertian’:
·         Birokrasi menujukkan suatu lembaga atau tingkat lembaga khusus. Dengan kata lain bahwa birokarsi  dinyatakan sebagai konsep yang sama dengan biro (walau tidak semua orang sepandapat)
·         Birokrasi diartikan suatu metode tertentu untuk mengalokasikan sumberdaya dalam organisasi yang berskala besar, (pengertian ini sama dengan pembuatan keputusan birokrasi (bureaucratic  decision making).
·         Birokrasi sering digunakan dari berbagai kesempatan dan jelas setelah dilihat dari konteknya.

            Birokrasi menurut Weber diartikan sebagai birokrasi yang ideal (ideal type of organization). Yang menpunyai cirri-ciri sbb:
·         Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggungjawab yang didifinisikan dengan jelas
·         Diorganisasikan secara hierarki atau adanya komando
·         Pejabat manajerial dipilih dengan kualifikasi teknis yang ditentukan oleh pendidikan dan ujian
·         Peraturan dan pengaturan dibuat mengarah kepada pelaksanaan pekerjaan
·         Hubungan antara menejer dengan bawahan atau antar pegawai bersifat impersonal
·         pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan gaji yang tepat.
            Pembagian pekerjaan dibagi kepada orang-orang yang berada dalam organisasi , deangan prisip The right man on the right place Job.  Pekerjaan dikerjakan oleh orang-orang yang tepat sesuai dengan kecakapan, pendidikan, dan pengalaman yang dimiliki.

                           
No.
Ciri birokrasi                          
Fungsi   
Disfungsi
1.
Pembagian kerja                    
Keahlian
Rasa bosan
2.
Orientasi Impersonal              
Rasionalitas
Mengurangi moralitas
3.
Hierarki wewenang                
Disiplin, Patuh, Koordinasi
Menghalangi komunikasi
4.
Peraturan & Pengaturan
Uniformitas & Kontinyuitas
Kekakuan, Penggeseran tujuan
5.
Orientasi karier
Insentif, prestasi
Konflik senioritas & prestasi


            Walaupun birokrasi ala Weber banyak mendapat kritik disana-sini namun birokrasi Weber ini dapat dijadikan sebuah norma untuk menilai kinerja dari birokrasi tsb. Sebuah nilai yang ingin dicapai oleh Weber ini adalah suatu birokrasi yang ideal, birokrasi yang efisien organisasi.
            Dari Uraian di atas apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan maka birokrasi berkenaan dengan kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat dalam makna birokrasi yang demikian itu Yahya Muhaimin (1991) mengemukakan birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.







II.      Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
            Etika Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai perangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi  (Muhajir Darwin, 1999). Dengan demikian etika Administrasi negara (birokrasi publik) memiliki dua fungsi :
·         Sebagai pedoman, referensi bagi Administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakan dalam organisasi dapat dinilai baik, terpuji dan tidak tercela.
·         Etika Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai standar penilaian sifat, perilaku dan tidakan administrasi negara (birokrasi publik) di nilai baik, terpuji dan tidak tercela.
            Seperti telah dikemukakan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Bahwa etika merupakan cabang dari ilmu filsafat, nilai, dan moral. Etika bersifat abstrak dan mempersoalkan baik dan buruk, bukan mempersoalkan benar dan salah. Sedangkan birokrasi publik (administrasi negara) bersifat kongkrit dan harus mewujudkan apa yang harus di inginkan.(get the job done). Berdasarkan gambaran ini timbul masalah :
            Bagaimana menghubungkan antar birokrasi publik seperti ketertiban, efesiensi, kebijakan publik, kemanfaatan, produktivitas yang dapat menjelaskan etika dalam praktek.
Bagaimana gagasan-gagasan etika seperti mewujudkan baik dan minghidari yang buruk untuk menjelaskan hakekat administrasi publik (birokrasi publik).
            Pertanyaan berikutnya adalah apa yang menyebabkan berkembangnya kajian-kajian mengenai etika birokrasi publik muncul.  Menurut Nicholas Henry (1995) ada tiga faktor  yang menyebabkan konsep etika administrasi negara (birokrasi publik) menjadi berkembang.
Hilangnya dekotomi politik dan administrasi negara
            Tampilnya teori-teori pengambilan keputusan, ketika masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya, yaitu rationalitas, efesiensi.
            Berkembangnya pemikiran-pemikiran pembaruan yang disebutkan sebagai counter  cultur critiqu dalam kelompok Administrasi Negara Baru.



III.        Pentingnya  Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
            Etika yang menganalisis tentang moralitas, yang mempersoalkan tentang baik dan buruk bukan benar dan salah, tentang sikap tindakan dan perilaku manusia dalam hubangan dengan sesamanya dalam masyarakat, organisasi publik atau bisnis, maka etika memiliki peran yang penting dalam praktek administrasi negara (birokrasi publik).
            Dalam paradigma dekotomi politik dan administrasi seperti yang dijelaskan oleh Wilson di jelaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda (two distinct functions of government) yaitu  fungsi politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan publik sedang fungsi administrasi bekenaan dengan pelaksanaan kebijakan publik. Jadi kekuasaan membuat kebijakan publik ada dalam kekuasaan politik dan melaksanakan kebijakan ada dalam administrasi negara. Namun karena administrasi negara (birokrasi publik) dalam melaksanakan kebijakan publik, yakni keleluasaan untuk menafsirkan kebijakan politik dalam bentuk program, proyek maka timbul pertanyaan apakah dalam melaksanakan itu dapat dijamin bahwa itu dilaksanakan dengan baik dan benar. Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi publik). Etika dapat dijadikan pedoman, referensi dan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik. Disamping itu dapat dipakai ukuran nilai atau standar penilaian perilaku, apakah kebijakan itu dijalankan dengan baik.
            Administrasi negara (birokrasi publik) dipandang telah melenceng dari yang seharusnya (Applebei 1952). Administrasi negara (birokrasi publik) selalu dilihat sebagai masalah teknis, bukan dilihat masalah moral sehingga timbul dari berbagai persoalan dalam bekerjanya Administrasi negara (birokrasi publik) (Golembiewski, 1965). Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai organisai yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakat dengan ketiadaan nilai-nilai moral dan etika yang berpusat pada manusia (Hammel, 1987).
            Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi publik), bukan saja berfungsi sebagai pedoman, referensi dan penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugas, tetapi juga berfungsi sebagi standar dalam menilai apakah sifat dan perilaku serta tindakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.



IV.     Pendekatan Teori Etika dalam Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
Kita sudah berbicara berbagai teori etika seperti :
            Deontologi : suatu tidakan dikatakan baik bukan karana tujuan atau akaibatnya baik, tetapi karena kewajiban yang memang tidakan itu harus dilakukan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tidakan itu baik atau buruk. Lalu bagaimana administrasi publik (birokrasi publik) dalam melaksanakan tugasnya dilakukan berdasarkan kewajiban yang di embannya. Dengan demikian tugas-tugas dapat dilakukan dengan penuh tanggung jawab, tidaksekedar main-main. 
            Fox (1994), antara lain mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontologi dalam etika administrasi ini.
            Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembangnya “Administrasi Negara Baru” (antara lain Frederickson dan Hart, 1985). Menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (social equity). Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik, memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, administrasi haruslah membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi. Pandangan ini, cukup berkembang, meskipun di dunia akademik banyak juga pengeritiknya.
           Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan ini              terutama bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika administrasi negara harus mengacu kepada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk kepada konstitusi, yang harus menjadi landasan etika para administrasi di negara itu.
            Ketiga, tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain Denhardt,
1988, 1991). Pandangan ini berpendapat bahwa ada nilai-nilai moral yang bersifat universal yang harus menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalahnya di sini ada lah nilai-nilai moral itu sendiri banyak yang dipertanyakan karena beragamnya sumbernya dan juga kebudayaan serta peradaban. (Ginanjar Kartasasmita).

            Teleologi : suatu tindakan dikatakan baik apabila memiliki tujuan dan akibatnya baik. Didalam administrasi publik (birokrasi publik) harus dapat menghasilkan dampak yang baik terhadap seluruh masyarakat. Dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh wrgam masyrakat. Seluruh tindakan yang dilakukan memiliki dampak yang baik. Dengan pendekatan yang pertama adalah apa yang disebut ethical egoism, yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang amat dikenal di sini adalah Niccolo Macheavelli, seorang birokrat Itali (Florensia) pada abad ke -15, yang menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar bagi seorang administrator pemerintah. Namun demikia menurut Khan kedalam melakukan tindakan harus dibarengi dengan niat baik.

V. Prisip Nilai Etika Administrasi Negara (Birokrsi Publik)
            Disamping prinsip-prinsip dasar etika terdapat seperangkat nilai yang digunakan dalam pengukuran administrasi negara (birokrasi Publik), apakah perilaku atau perbuatan administrasi negara (birokrasi Publik) dapat dikatakan baik atau buruk, terpuji atau tercela adalah :
1.      Efesiensi : yang artinya tidak boros.sikap perilaku dan perbuatannya administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan baik apabila efesiien atau tdak boras, artinya dalam penggunaan dana-dana publik atau penggunaan ressources secara efesien dengan hasil yang optimal. Ressources yang dimiliki atau yang disediakan tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas, apalagi untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian nilai efesiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber dana dan sumberdaya yang tepat, tidak boros, dan dapat dipertanggung jawabkan.
2.      Nilai yang membedakan milik pribadi dengan milik dinas. administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah administrasi negara (birokrasi Publik) yang dapat membedakan mana milik pribadi dan mana milik negara /dinas. Artinya mereka tidak akan menggunakan barang milik negara/dinas untuk kepentingan pribadi. Mereka hanya akan menggunakan barang-barang milik negara untuk kepantingan publik/negara
3.      Nilai Responsibel berkaitan dengan tanggungjawab administrasi negara (birokrasi Publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah administrasi negara (birokrasi Publik) yang responsibel. Menurut Carl J. Friedrich merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi tehnik yang dimiliki administrator dalam menjalankan tugasnya. administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan responsibel jika pelakunya memiliki standar profesionalisme atau kompetensi tehnik yang tinggi. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap sikap dan perilaku administrasi negara (birokrasi Publik) harus memiliki standar penilaian tersendiri yang sifatnya administratif atau teknis dan bukan politis. Administrasi negara (birokrasi Publik) harus memiliki rasa tanggungjawab, dengan rasa tanggungjawab mereka akan melaksanakan tugas yang diembanya dengan sepenuh hati. Mereka tidak melakukan korup kendati mereka ada pada lingkungan yang korup. Bahkan mereka ingin merubah lingkungannya dan sistemnya untuk menjadi lebih baik, walaupun ada resiko terhadap dirinya.
4.  Nilai akuntabilitas ; Administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah yang akuntabel. Menurut Harry Hatry akuntabel adalah merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur apakah dana publik atau ressources yang ada sudah digunakan dengan tepat guna untuk tujuan yang telah ditetapkan, tidak digunakan untuk yang lain. Sedangkan menurut Herman Finner, akuntabilitas suatu konsep berkenaan dengan dengan standar eksternal yang menentukan suatu tindakan administrasi negara (birokrasi Publik). Akuntabilitas dimulai dari orang atau institusi yang berasal dari luar dirinya, yang sering disebut tanggungjawab yang bersifat obyektif. Administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan akuntabel jika mereka di nilai obyektif oleh orang atau masyarakat atau yang mewakili dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, sikap dan sepak terjangnya darimana wewenang dan kekuasaannya itu diperoleh. Politisi harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada kelompok pemilihnya, Eksekutif harus mempertanggungjawabkan implementasi kebijakan yang dilakukan kepada legislatif. Yang akhirnya baik eksekutif dan legislatif harus mempertanggungjawabkan kepada rakyatnya.
5.   Nilai responsivitas ; yang berkaitan dengan daya tanggap untuk menanggapi yang menjadi keluahan, masalah dan aspirasi publik. Administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan baik apabila administrasi negara (birokrasi Publik) responsif yaitu memiliki daya tanggap yang tinggi dan cepat terhadap apa yang menjadi keluhan, masalah, aspirasi publik dalam membarikan pelayanan publik. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik,dan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya. Ia dapat menangkap aspirasi masyarakat atau masalah yang dihadapi dan berusaha untuk mencari solusinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan atau mengutamakan prosedure tetapi mengabaikan subtansinya. 
6.  Nilai impersonal ; Administrasi negara (birokrasi Publik) dakatakan baik apabila dalam melaksakan hubungan dengan sesama atau antar bagian dalam birokrasi bersifat impersonal artinya dalam melakukan komunikasi bersifat formal, tidak ada hubungan yang bersifat pribadi. Hubungan pribadi hanya dapat dilakukan dilur dinas. Hubungan pribadi harus dihidari agar dalam memberikan pelayanan tidak terjadi penonjolan unsur pribadi dari pada unsur ratio yang menyebabkan ketidak adilan.
7.      Nilai merit system ;  Administrasi negara (birokrasi Publik) dakatakan baik apabila dalam penerimaan atau promosi pegawai tidak dilaksanakan berdasarkan kekerabatan, patrimonial, akan tetapi didasarkan atas pengetahuan, ketrampilan kemampuan dan pengalaman yang oleh orang yang bersangkutan. Dengan dianutnya nilai ini maka akan menjadikan orang-orang yang melaksanakan kebijakan akan menjadi profesional, yang diharapkan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat menjadi lebih baik.   


Daftar Pustaka

Ati, Ayuning Mustika. 2010. Etika Birokrasi dalam Administrasi Publik. (online), http://www.scribd.com/feeds/rss. diakses 23 Maret 2012.
Haryanto. 2002. Kuliah Birokrasi Indonesia. Politik Lokal Otonomi Daerah. Jogjakarta : Program Pascasarjana UGM.
Indrawanto. 2004. Teori Administrasi Piublik dan Birokrasi. Malang : Taroda

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Etika Birokrasi dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi. Yogyakarta. www.ginandjar.com

MAKALAH PELAYANAN PUBLIK

PEMERINTAH DAN PELAYANAN PUBLIK

A. Pengertian Layanan Publik
Sesungguhnya yang menjadi produk dari organisasi pemerintahan adalah pelayanan masyarakat (publik service). Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan layanan civil maupun layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan secara universal.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi
B. Paradigm Pelayanan Publik Customer driven Government
Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) pada dasarnya terdapat dua paradigma dalam pelayanan publik  pertama adalah paradigma pelayanan publik yang berorientasi pada pengelola pelayanan. Paradigma ini lebih bersifat birokratis, direktif, dan hanya memperhatikan / mengutamakan kepentingan pimpinan / organisasi pelayanan itu sendiri. Paradigma ini banyak mendapat keluhan dari masyarakat pengguna layanan karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat pengguna layanannya. Masyarakat sebagai pengguna layanan tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelola pelayanan. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri pada kepentingan masyarakat pengguna layanan, pengelola harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Paradigma kedua merupakan paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma pelayanan publik yang terfokus / berorientasi pada kepuasan pengguna layanan (customer driven government).

Customer driven government merupakan prinsip ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992 : 191). Prinsip ini menguraikan bahwa pemerintahan yang berorientasi pelanggan adalah pemerintah yang memenuhi kebutuhan pengguna layanannya, bukan birokrasi.

Kebanyakan organisasi pemerintah bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka. Mengapa demikian? Menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana, karena sebagian besar badan pemerintah tidak memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara langsung).  Disamping itu sebagian pelanggan mereka bersifat captive, pelanggan ‘paksa’, singkatnya para pengguna layanan mempunyai sedikit alternatif terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu birokrasi sering mengabaikan para pengguna layanannya. Birokrat menganggap bahwa pelanggan mereka adalah eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah mereka memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat yang diangkat, pada gilirannya, lebih berorientasi pada pejabat yang mengangkatnya atau kelompok kepentingan / partai. Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh menyenangkan pelanggan, badan pemerintah mati-matian untuk menyenangkan kelompok kepentingan.

Budiono (2003 : 3) mendefinisikan pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer driven government) yaitu pemerintah yang meletakkan pengguna layanan sebagai hal yang paling depan. Oleh karena itu, kepuasan pengguna layanan ditempatkan sebagai sasaran penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pengguna layanan. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan, pemerintah lebih responsif dan inovatif. 

Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) memberikan ciri-ciri dari paradigma pelayanan customer driven government, antara lain sebagai berikut : (1) lebih fokus pada kegiatan fasilitasi untuk berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan pelayanan masyarakat; (2) lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat; (3) fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (outcomes); (4) fokus pada kebutuhan dan keinginan masyarakat; (5) pada hal tertentu, organisasi pemberi layanan juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan; (6) fokus pada antisipasi terhadap permasalahan pelayanan; dan (7) lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas, maka paradigma customer driven government adalah paradigma pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu pelayanan atau lebih populer dengan istilah “putting the customer on the driver seat”.

Tugas Pokok Pemerintahan Modern : Pelayanan Kepada Masyarakat

Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997, 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.

Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini (ibid, 20). Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah. 

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.

Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.

C. Teori konsep kualitas pelayanan publik
usai sholat subuh, muncul lagi niat untuk menulis postingan lagi. setelah cari-cari bahan, akhirnya ketemu satu bahan yg cukup menarik untuk diposting. untuk postingan kali ini saya tertarik dgn pokok bahasan teori konsep dari kualitas pelayanan publik. kita mulai dari teori konsep tentang kualitas. menurut goetsh dan davis (dalam tjiptono, 1996:51) mengartikan kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. berbeda halnya dengan ibrahim (1997:1) yang mendefinisikan kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan internal dan eternal, secara eplixit dan implisit. sedangkan gazpersz (1997:4) membedakan pengertian kualitas dalam dua pengertian, yaitu : definisi konvensional dan definisi strategik. definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti : performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics) dan sebagainya. sedangkan definsi strategik menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of costumers). mengacu kepada kedua definisi tersebut, sehingga menurut gaspersz (1997:5) bahwa : pada dasarnya kualitas mengacu kepada keistimewaan pokok, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan serta segala sesuatu yang bebas dari kekurangan dan kerusakan. sedangkan triguno (1997:76) mendefinisikan kualitas sebagai : suatu standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/ organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. selanjutnya ia juga mengatakan bahwa berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat. garvin (dalam lovelock, 1994; ross, 1993) memahami perbedaan pengertian kualitas dari berbagai ahli, karena itu garvin mengelompokkan pengertian kualitas tersebut dalam lima perspektif, dimana kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. kelima macam perspektif kualitas tersebut menurut garvin adalah sebagai berikut : 1. transcedental approach, yang memandang kualitas sebagai innate excellence, dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan. 2. product based approach, yang menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur. 3. user based approach, yang memandang bahwa kualitas tergantung kepada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. 4. manufacturing based approach, yang memandang bahwa kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (comformance to requirements). dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations driven. 5. value based approach, yang memandang kualitas dari segi nilai dan harga dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai "affordable exellence". berdasarkan uraian di atas, garvin menyimpulkan bahwa pada hakekatnya kualitas akan mengacu pada kreteria sebagai berikut : 1) kondisi produk/jasa 2) strategi dasar yang menghasilkan jasa 3) karakerisitik produk 4) keistimewaan produk yang bebas dari kekurangan dan kerusakan 5) standard yang harus dicapai. kelima kriteria tersebut pada akhirnya diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan pelanggan/consumer atau masyarakat. dalam hal ini kualitas suatu produk atau jasa hanya dapat ditentukan oleh pelanggan sendiri, karena merekalah yang merasakan produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi baik bisnis maupun publik. oleh karena itu kualitas selalu berfokus pada pelanggan (custumer focused quality). kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. menurut triguno (1997:78) pelayanan yang terbaik, yaitu "melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong, serta profesional dan mampu". sedangkan menurut tjiptono (1996:58) secara garis besar ada empat unsur pokok yang terkandung di dalam pelayanan yang unggul (service excellence), yaitu : 1. kecepatan. 2. ketepatan. 3. keramahan. 4. kenyamanan. keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang. kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi) yang bersangkutan. selanjutnya wyckof (dalam tjiptono, 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan". ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, jika kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk. dengan demikian, fungsi pemerintah bukan hanya terbatas pada aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tersebut betul-betul berkualitas. berdasarkan sendi-sendi kualitas pelayanan kepada masyarakat tersebut, maka secara umum sendi-sendir tersebut telah mencerminkan karakteristik pelayanan yang diinginkan pelanggan yaitu pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan lebih baik (better) (gazperzs, 1997:12)
pemerintah dan pelayanan publik
tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban didalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.

dalam ilmu pemerintahan, ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa: sebagai unit kerja publik, pemerintah bekerja guna memenuhi (memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai konsumer dan sovereign, akan jasa-publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.
dengan demikian, masyarakat sebagai konsumer produk-produk pemerintahan berhadapan dengan pemerintah sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar, yang satu tidak berada dibawah yang lain. oleh karena itu posisi yang diperintah sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign. melalui posisi sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol pemerintah, sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu yang memadai.
lebih lanjut ndraha (1999:58) mengemukakan bahwa : public dalam public policy yang menjadi dasar bagi pelayanan-publik adalah hal yang menyangkut kepentingan masyarakat umum. berbeda dengan jasa-pasar yang dapat dijual-belikan menurut mekanisme pasar (misalnya jasa bank, jasa swasta, jasa dokter), jasa publik (produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, dari masyarakat lapisan bawah, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom, proses produksinya disebut pelayanan-publik) diproduksi dan dijual-belikan dibawah kontrol pemerintah.
untuk mengetahui ukuran yang dipertimbangkan publik dalam menilai kualitas pelayanan, rene t. domingo dalam triguno (1999:77) mengemukakan bahwa “ dimensi kualitas pelayanan dapat dikur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan, kelengkapan, kesiapan, kenyamanan dan lingkungan ”.
bahwa terdapat perbedaan antara pelayanan dengan layanan, sebagaimana dijelaskan ndraha (1998:6) “ pelayanan (proses) meliputi input, proses, output dan outcome sedangkan layanan (output) hanya mencakup output dan outcome saja”. berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah outputnya saja (layanan).

pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu bentuk interaksi atau hubungan antara penyedia layanan dan penerima layanan. dengan kata lain dalam hubungan pemerintahan terkandung makna adanya organisasi yang memerintah dan masyarakat yang diperintah.

birokrasi merupakan organisasi atau unit kerja publik yang berfungsi sebagai provider layanan. konsep birokrasi yang banyak diterima sampai sekarang adalah teori yang dikembangkan oleh max weber yang mendefinisikan karakteristik suatu organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan anggota organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama.
sebagaimana dikemukan gibson, et, al, (1989:391) bahwa : birokrasi (berdasarkan konsep weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam hal ketepatan stabilitas, disiplin dan kepercayaan. sehingga birokrasi memungkinkan untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas.
selanjutnya thoha (1995:181) menjelaskan bahwa “ kualitas layanan sangat tergantung pada bagaimana pelayanan itu diberikan oleh anggota dan sistem yang dipakai dalam organisasi”. artinya aktivitas organisasi adalah aktivitas orang-orang, sedangkan orang atau manusia adalah unsur utama dalam setiap organisasi. sebagaimana dikemukakan winardi (1989:1) bahwa : organisasi-organisasi di bentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan atau sasaran-sasaran tertentu, dan oleh karena komponen pokok organisasi adalah manusia maka sebenarnya perilaku organisasi tidak lain dari perilaku manusia di dalam organisasi yang bersangkutan.
berkenaan dengan konsep perilaku tersebut ndraha (1999:65) menjelaskan bahwa perilaku adalah : operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian.
hal yang sama dikemukakan pula oleh paramita (1985:10) dalam penelitiannya mengenai struktur organisasi di indonesia, bahwa : posisi semua dimensi struktur organisasi tertentu akan berbentuk gambaran strukturnya, sehingga mungkin untuk memberi ciri pada organisasi berdasarkan gambaran strukturnya dan aktivitas anggotanya.
untuk itu terdapat beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perilaku birokrasi suatu organisasi, sebagaimana gibson, et, al, (1989:340) mengemukakan bahwa : walaupun sulit untuk mendapatkan pemahaman yang universal tentang dimensi struktural organisasi, namun ada beberapa dimensi yang selalu mencul dari beberapa pengertian birokrasi suatu organisasi, yaitu formalisasi, sentralisasi dan kompleksitas.


bagaimana gambaran dari proses pelayanan publik
dalam kajian ilmu pengetahuan, konsep pelayanan publik sebenarnya bukan merupakan konsep yang baru, secara filosofi kemunculan ilmu administrasi negara sebetulnya terkait erat dengan konsep pelayanan publik. nicholy henry (1988:22) mengemukakan bagaimana hubungan administrasi negara dengan kepentingan publik. dalam bahasan tersebut henry menyimpulkan bahwa tuntutan terhadap peran administration (birokrasi) dalam pelayanan publik telah menjadi kajian yang sangat filosofis dan berumur panjang jauh sebelum ilmu administrasi negara itu sendiri muncul dan berkembang. dari analisisnya henry mengemukakan konklusi bahwa sesungguhnya pelayanan publik merupakan jiwa dasar dari penyelenggaraan administrasi negara. dalam hubungan ini dapat dipahami jika kehidupan manusia diwarnai oleh tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya. pemenuhan kebutuhan hidup terebut ada yang diperoleh melalui mekanisme pasar dan ada pula yang diperoleh tidak melalui mekanisme pasar.

kebutuhan manusia yang tidak dapat diperoleh melalui mekanisme pasar antara lain adalah layanan civil yang hanya disediakan oleh pemerintah. layanan civil tersebut diberikan oleh pemerintah atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap warga negara.

dalam situasi seperti ini tentunya menjadi tugas pemerintah untuk mewujudkan pelayanan itu. dalam hal ini pemerintah adalah lembaga yang memproduksi, mendistribusikan atau memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa pelayanan publik. dengan demikian secara eksplisit dapat dikatakan bahwa pemberian pelayanan publik merupakan jenis pelayanan yang dimonopoli oleh pemerintah. hal ini dapat dipahami mengingat pelayanan civil merupakan bagian dari fungsi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.

sebagai fungsi pemerintah maka pelayanan publik tidak hanya semata bersifat “profit orientied” tetapi lebih beorientasi sosial, yaitu penguatan dan pemberdayaan masyarakat. karena itu penentuan dari proses pelayanan publik tidak bisa dilakukan dengan pendekatan bisnis, tetapi pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan sosial (social approach), karena yang paling tahu akan baiknya pelayanan yang diberikan adalaha masyara


Daftar Pustaka
                                          
R. Wiyono. Hukum Acara Pelayanan punlik.Sinar Grafika. Jakarta: 2008
S. F. Marbun. Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesi. Liberty. Yogyakarta: 1997


Penguasaan dan Modal Asing di Indonesia

Penguasaan & Modal Asing di Indonesia

1. Penguasaan investasi asing di indonesia
khususnya industri ektrakstif telah di mulai sejak tahun 1967 saat Freeport masuk dan mencengkeram kekayaan alam indonesia , khususnya di tanah papua. Alih-alih memperoleh kesejahteraan, selama 45 tahun rakyat Papua justru mengalami konflik, bencana lingkungan, kemiskinan, dan penderitaan. Pengalaman ini sudah cukup memberikan bukti bahwa perusahaan industri ekstraktif skala raksasa seperti Freeport harus ditolak keberadaannya di Kalimantan Tengah.
Selama ini orientasi kebijakan pemerintah yang pro pasar dan investasi adalah ancaman utama terhadap sumber-sumber penghidupan rakyat Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah. Sumber daya alam diserahkan pada investasi yang monopolistik serta tidak menghargai kearifan lokal dan peran serta masyarakat. Sebaliknya, justru memunculkan penggusuran terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal, kerusakan lingkungan serta bencana ekologi yang berujung pada ancaman atas keselamatan rakyat.
Saat ini ancaman terhadap sumber daya alam dan sumber-sumber penghidupan rakyat di kalimantan semakin nyata dengan masuknya perusahaan tambang multi nasional PT. Freeport Mc Moran. Ltd di Kalimantan tengah yang melakukan kongsi dengan perusahaan PT. Kalimantan Surya Kencana seluas 120.900 ha dengan ijin kontrak karya (KK) di dua Kabupaten Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Kabupaten Gunung Mas, Katingan dan Murung Raya).
PT KSK adalah anak perusahaan Kalimantan Gold Corporation. Ltd yang sudah melakukan kongsi dengan Freeport Mc Moran-Exploration.Ltd yang akan menguasai 75 % saham setelah menginvestasikan US$7 juta. Di Kalimantan Timur mereka juga sedang melakukan akivitas untuk tambang PT. Jelai Cahaya Mineral ( http://www.kalimantan.com/s/Jelai.asp)
Di Kalimantan Tengah, perusahaan ini sudah mulai melakukan eksplorasi pada tanggal 23 Mei 2012, dimana mereka sudah melakukan pemboran di titik Beruang Tengah di wilayah proyek KSK, Kalimantan Tengah yang di rilis manajemen Kalimantan Gold kepada investor di Bursa Efek Toronto pada tanggal 29 Mei 2012.
Jelas eksplorasi ini akan mengancam keberadaan masyarakat dan lingkungan. Ancaman ini bisa dilihat dari segi penyelamatan lingkungan dan ekologi di kalimantan tengah bahwa wilayah yang menjadi lokasi konsensi PT. KSK berada di wilayah hulu dan merupakan wilayah “cathment area” (tangkapan air) yang merupakan sumber hidrologi beberapa sungai besar di kalimantan dan wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Di prediksikan apablia wilayah ini di eksploitasi dengan menggunakan metode “open peat mining” (tambang terbuka) maka ancaman kerusakan lingkungan dan bencana ekologi seperti pencemaran, banjir dan kekeringan akan terjadi di kalimantan yang mempengaruhi keselamatan penduduk yang banyak hidup di sekitar bantaran sungai-sungai seperti Barito, kapuas, kahayan dan katingan mahakam dan kapuas (kalbar).
Terkait dengan hak tersebut, kami menuntut kepada penyelenggara negara khususnya Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Daerah Prop. Kalimantan Tengah & Kalimantan Barat untuk melindungi hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di bumi kalimantan dengan memastikan keselamatan rakyat sesuai dengan mandat konstitusi dasar negara.

Sekarang, setelah 14 tahun reformasi bergulir, keadaannya tidak banyak berubah. Kemakmuran tetap hanya dinikmati oleh segelintir orang. Tahun 2012 lalu, majalah Forbes melangsir kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia. Total kekayaan 40 orang terkaya itu mencapai Rp 800 triliun atau separuh dari APBN kita.

Menurut hitungan Perkumpulan Prakarsa, kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Sementara kekayaan 43 ribu orang terkaya di Indonesia setara akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang.

Anggota DPR Budiman Sudjatmiko, yang mengutip data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengungkapkan bahwa Konsentrasi kepemilikan aset juga meningkat: 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset di tanah air. Artinya, aset nasional bangsa ini hanya dikangkangi oleh 440 ribu orang.

Kenyataan itu diperkuat oleh fakta indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia yang terus meningkat: dari 0,50 (1983) menjadi 0,72 (2003). Ketimpangan kepemilikan aset itu kemudian berimbas pula pada ketimpangan pendapatan. Gini Rasio, yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan, juga meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir: dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011).

Akan tetapi, penguasa utama ekonomi Indonesia adalah kapital asing. Merekalah yang sekarang ini menggenggam hampir seluruh sumber daya alam dan sektor-sektor produksi strategis. Akibatnya, kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat pesat, yakni 6,5%, tetapi sebagian besar mengalir keluar.

Dominasi modal asing ini sangat besar. Sebagai contoh, sekalipun kita punya kekayaan gas, tetapi hasil produksinya hanya dikontrol 6 perusahaan asing. Akibatnya, gas tersebut tidak digunakan untuk melayani kebutuhan dalam negeri, seperti menopang industri pupuk, listrik (PLN), dan lain-lain, melainkan diekspor keluar untuk menghasilkan profit bagi korporasi asing.

Saking berkuasanya, kapital asing bisa membeli hukum Indonesia untuk melegalkan praktek eksploitasinya. Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM), Revrisond Baswir, menyebut praktek ini sebagai bentuk “legalisasi kolonialisme”. Lebih jauh lagi, kekuatan kapital asing ini, melalui IMF, Bank Dunia, dan WTO, bisa menentukan kebijakan ekonomi-politik Indonesia.

Pada abad ke-18, Adam Smith sudah bilang, “mereka yang akan menguasai masyarakat dan membuat kebijakan: pedagang dan produsen. Kekuatan pedagang dan produsen itu telah menjelma dalam lembaga keuangan internasional dan korporasi multinasional.

Memang, teorinya sudah mengajarkan, “siapa yang mengontrol ekonomi dengan sendirinya akan mengontrol politik, hukum, sosial, dan budaya.” Lihat saja, ketika kekuatan pemilik modal butuh tanah, dengan gampangnya petani dan masyarakat diusir. Kekuatan pemilik modal juga sanggup membeli aparatus keamanan, termasuk Polisi dan TNI, untuk mengusir kaum tani dari tanah-tanahnya.

Juga, supaya keuntungan bagi kapitalis itu mengalir deras, negara merestui praktek upah murah, sistem kerja kontrak, dan outsourcing. Bahkan, supaya investor tetap betah menanamkan modalnya di Indonesia, pemerintah siap memberikan jamanan keamanan. Hak rakyat untuk berserikat dan menggelar protes pun pelan-pelan diberangus.

Negara Indonesia sekarang bukan lagi “negara buat semua”. Negara Indonesia saat ini, berikut aparatus idelogis dan represifnya, dikendalikan oleh segelintir orang, yakni pemilik modal. Mereka dengan gampangnya menggunakan hukum untuk menjerat rakyat. Namun, ketika giliran mereka yang melanggar hukum, tak ada yang bisa menjeratnya.

Pengelolaan energi menuai polemik yang mengarah pada liberalisasi Migas, terlebih saat Ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia (API) Elisabeth Proust menyatakan ada salah persepsi dari publik bahwa industri migas didominasi perusahaan asing sehingga tidak menghasilkan banyak manfaat bagi bangsa Indonesia. (kompas.com, 6/12).

Bila dikaji, ini malah bertolak belakang dengan data yang dikeluarkan oleh BP Migas 2011 dan fakta di lapangan  penguasaan  energi/migas banyak perusahaan asing ikut andil dalam kebijakan dan pengelolaan teknis energi. Di antaranya pengelolaan Cepu dimenangi Exon Mobil daripada Pertamina, dan kenaikan BBM hampir setiap tahun dari rezim kepemimpinan pasca reformasi.

Ini refleksi pengelolaan Migas yang kacau balau. Bubarnya BP Migas salah satu contoh dari carut-marutnya pengelolaan migas. BP Migas dibentuk untuk menjalankan amanat UU Migas No. 22 tahun 2001. Selain pembubaran BP Migas juga ada persoalan lain yang pelik terkait pengelolaan Migas. Persoalan itu antara lain terkait barganing position pemerintah untuk menguasai seluruh sektor Migas Indonesia.

Pemerintah seolah terjebak pada dilema antara formulasi B to G atau B to B. Saat ini sekitar 80% ladang Migas di Indonesia dikuasai asing. Asing dalam hal ini berbentuk multi national corporation (MNC) atau pun negara. Sehingga bisnis dan kekuasaan begitu kental dalam pengelolaan migas.

Adapun tulisan ini menguraikan kesalahan pernyataan ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia (API) bahwa pengelolaan energi Indonesia bermanfaat bagi rakyat.



Faktor Normatif
Ada beberapa dasar kebijakan negara  yang memperkuat adanya liberalisasi sektor Migas.
Pertama, UU Migas No. 22 tahun 2001 menjamin  efektivitas  pelaksanaan  dan  pengendalian  usaha  Pengolahan,  Pengangkutan, Penyimpanan,   dan   Niaga   secara   akuntabel   yang   diselenggarakan   melalui   mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan(Pasal 2). “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Uaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta (Pasal 9).”
Kedua, PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero.  Tujuan utama persero adalah mendapatkan keuntungan (Pasal 2) dan keputusan tertinggi ada pada RUPS.  (Tahun 2011 anak Perusahaan Pertamina PT Pertamina Hulu Energi direncanakan akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di Bursa Saham).
Ketiga, Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: “Penetapan   kebijakan   harga   energi   ke   arah   harga keekonomian,     dengan     tetap     mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”
Keempat, Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional .
Kelima, adapun pembubaran BP Migas merupakan masalah cabang dari masalah pokok berupa liberalisasi pengelolaan energi. Keputusan MK atas uji materiil UU No 22 tahun 2001 oleh beberapa Ormas dan tokoh yang menghasilkan keputusan BP Migas bubar menyisakan beberapa pertanyaan besar dari berbagai kalangan.
BP Migas bubar, sudahkah kedaulatan energi  negeri ini terwujud ? Apakah BP Migas bubar wujud dari usainya liberalisasi Migas ? Apakah esensi sebenarnya keputusan MK? Menjawab beberapa pertanyaan di atas faktanya walaupun pemerintah telah membubarkan BP Migas tetap saja pengelolaan energi masih dikuasai oleh swasta terutama asing.
Faktor Ekonomi
Peran asing dalam megelola energi mengalami defisit perdagangan minyak dari tahun ke tahun. Defisit perdagangan minyak meningkat empat kali lipat dari USD 4,02 miliar pada 2009 menjadi USD18,93 miliar di 2011. Defisit neraca perdagangan minyak Indonesia tahun 2012  naik sekitar 10% dibandingkan tahun lalu yang sebesar US$ 18,93 miliar.
Defisit neraca perdagangan minyak Indonesia akan terus bertambah selama masih menjadi importer minyak. Defisit neraca perdagangan minyak akan bertambah jika konsumsi bahan bakar minyak terus bertambah dan tidak ada peningkatan produksi dalam negeri. Setiap pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%, konsumsi bahan bakar akan naik setidaknya 10%.
Defisit neraca minyak Indonesia akan lebih besar jika terjadi gejolak harga minyak di pasar internasional. Data Kementerian ESDM 2010 menunjukkan bahwa minyak bumi masih merupakan sumber energi terbesar dengan 46,9 persen disusul batu bara (26,4 persen) dan gas (21,3 persen).
Mewujudkan Perpres 5/2006 membutuhkan peningkatan signifikan produksi gas. Peningkatan terbesar terjadi pada bahan bakar mineral US$ 254,2 juta. Sementara untuk ekspor migas naik 7,87 persen dari US$ 2,770 juta pada September 2012 menjadi US$ 2,988 juta pada Oktober 2012.
Pola perdagangan gas cukup menarik dengan ekspor meningkat dua kali lipat dari USD9,8 miliar pada 2009 menjadi USD18 miliar pada 2011, tapi impor gas meningkat empat kali lipat dari USD438 juta menjadi USD1,62 miliar pada periode yang sama. Lalu, bagaimana cara menguatkan ketahanan dan daya saing sektor energi Indonesia? Penguatan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai perusahaan dan minyak dan gas nasional.
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang melemahkan Pertamina dan PGN perlu dikaji ulang. Tentunya semua kebijakan tersebut perlu disertai dengan peningkatan efisiensi di Pertamina dan PGN serta pengawasan ketat terhadap korupsi. Berdasarkan data BP Migas menunjukkan bahwa dari hampir 10 ribu BBTUD yang diproduksi Indonesia, hampir setengahnya sudah terikat kontrak untuk diekspor dengan tujuan utama ke Jepang (67 persen), Korea Selatan (16 persen), Taiwan (14 persen), dan China (2,7 persen).
Faktor Politik
Tingginya harga BBM dan gas di Indonesia, jika ditelusuri lebih dalam maka akan ditemukan akar masalahnya yakni amburadulnya kebijakan energi primer (BBM dan Gas) dan sekunder (PLN) di Indonesia.
Problem kelangkaan BBM diakibatkan oleh rusaknya sistem yang digunakan oleh pemerintah. Ujungnya adalah diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gasbumi yang sangat liberal. Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan MIGAS.
Sebab dalam UU ini pemerintah pertama, membuka peluang pengelolaan Migas karena BUMN Migas Nasional di privatisasi. Kedua, pemerintah justru memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domistik melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak.
Ketiga, perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri.  Padahal, di Indonesia dengan 60 kontraktor Migas yang ada terkatagori kedalam 3 kelompok, (1) Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco ternyata menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80% Indonesia. (2) Major yang terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Dan (3) Perusahaan independen menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.
Walhasil, kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multi nasional asing dan berwatak kapitalis tulen. Wajar jika negeri berlimpah ruah akan minyak dan gas ini ’meradang’ tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual keluar negeri oleh perusahaan asing tersebut.
ExxonMobil merupakan perusahaan migas Amerika Serikat yang memimpin di hampir setiap aspek bisnis energi dan petrokimia. Produk ExxonMobil dipasarkan di hampir seluruh negara di dunia, dan dalam mengeksplorasi sumber daya migas, Exxon Mobil beroperasi hingga di enam benua.Di Indonesia, ExxonMobil telah beroperasi selama lebih dari 100 tahun, dengan tambang migasnya yang menyebar dari ujung Barat Indonesia di Aceh hingga ujung Timur di Papua.

Kepemilikan tambang migas ExxonMobil ini merupakan yang terbanyak di Indonesia, jauh melebihi Pertamina. Contohnya adalah penerbitan PP No.34/2005 yang mana PP ini memberi pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok Kontrak Kerjasama yang terdapat dalam PP No.35/2004. Tujuannya, untuk memberi landasan hukum bagi ExxonMobil dalam memperoleh kontrak selama 30 tahun. Dengan penguasaan ExxonMobil yang besar tesebut, maka diperkirakan dapat terjadi kecurangan-kecurangan seperti anggaran cost recovery, biaya eksploitasi, data cadangan migas sebenarnya, hingga manfaat bagi penduduk sekitar.
Ternyata, dominasi asing dalam usahanya mengeruk dan menguras habis sumberdaya alam kita bukan disebabkan kinerja mereka sendiri, tetapi karena kekuasaan dan kewenangan besar yang dihambakan oleh pemerintah kepada mereka.
Produksi minyak bumi Indonesia yang dimulai sejak jaman Belanda dan dieksploitasi secara besar-besaran, serta konsumsi rakyat terhadap BBM yang setiap tahun semakin tinggi, menyebabkan Indonesia sejak tahun 2003 sudah tidak dapat mengekspor minyaknya lagi. Bahkan sejak tahun 2004,
Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara produsen minyak dunia dan merupakan anggota OPEC, telah menjadi negara pengimpor minyak, yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Kondisi ini semakin diperparah ketika Pemerintahan SBY yang baru naik pada waktu itu langsung membuat kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 126% pada tahun 2005, dengan alasan untuk menyesuaikan terhadap harga minyak dunia.
Padahal minyak yang diimpor setiap tahunnya hanya sebesar 10 persen dari total kebutuhan BBM Indonesia, sedangkan 90 persen lagi, dapat dihasilkan dari bumi Indonesia sendiri. Semakin naiknya harga minyak dunia setiap tahun, membuat subsidi pemerintah terhadap harga BBM semakin besar.
Terhadap situasi ini pemerintahan SBY kembali membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dengan rencana akan membatasi BBM bersubsidi pada April 2012. Sehingga rakyat dipaksa untuk dan mengalihkan konsumsi BBMnya kepada BBM yang sesuai dengan harga pasar dunia. Kebijakkan ini memang secara langsung tidak menaikkan harga BBM, tapi dampaknya justru lebih parah karena BBM yang tidak bersubsidi, fluktuasi harganya selalu tidak dapat diduga.
Menghadapi masalah BBM yang setiap tahun semakin menyulitkan ini, solusi yang diberikan pemerintah melalui BP Migas justru meminta kepada Chevron sebagai produsen minyak terbesar di Indonesia, dan seluruh perusahaan minyak asing dan dalam negeri yang beroperasi di Indonesia, agar memaksimalkan produksinya.
Ini jelas membuktikan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan minyak asing yang menguasai 90 persen produksi minyak Indonesia, telah menciptakan ketergantungan kebutuhan BBM bangsa ini kepada mereka. Sehingga membuat pemerintah harus memohon kepada perusahaan-perusahaan asing tersebut untuk dapat memenuhi keperluan BBM negeri ini, dan rakyat harus membeli BBM dari bumi mereka sendiri dengan harga pasaran dunia kepada asing.
Di masa depan tampaknya rakyat akan semakin terus kesulitan untuk memenuhi kebutuhan BBM ini, karena ketika pimpinan Chevron Corporation dari kantor pusat Amerika Serikat menemui Wakil Presiden Boediono pada September 2011 lalu, CEO Chevron John. S Watson memberikan keterangan bahwa, “Saya mengatakan pada Wakil Presiden bahwa saya berharap Chevron akan berada di sini (Indonesia) 85 tahun lagi, karena kami memiliki banyak peluang investasi di negeri ini.”
Berdasarakan telaah pendekatan normatif, ekonomi dan politik di atas tentu tidak benar kalau API mengatakan pengelolaan energi oleh asing bermanfaat bagi rakyat. Karena yang terjadi adalah menyengsarakan, rakyat harus membayar mahal Migas yang notabene milikinya sendiri kepada asing.




Penguasaan Asing Terhadap Ekonomi Indonesia

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra menilai Indonesia adalah surga bagi investor pertambangan asing. Kilau emas kuning dan hitam (migas) sangat menarik perhatian pengusaha tambang asing untuk mengeruknya dari bumi Indonesia.

"Penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang di kelola Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok dioperasikan perusahaan nasional serta sekira 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan nasional," ungkap Yusra, dalam seminar Menegakan Kedaulatan Energi Nasional, di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (20/2/2013).

Yusra menambahkan, pemerintah menargetkan di 2025 porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen. "Saat ini porsi nasional hanya 25 persen, sementara 75 persen dikuasai asing," tambahnya.

Dia menjelaskan, dominasi asing di sektor pertambangan itu dinilai kian mengkhawatirkan bahkan telah mengancam kedaulatan perekenomian Indonesia karena menjadikan pertambangan sebagai komoditas yang tidak memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan rakyat.


"Apalagi 75 persen kuasa pertambangan telah dikuasai asing. Besarnya dominasi asing disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terlalu membuka lebar pintu investasi bagi investor asing di sektor strategis," jelas dia.