ETIKA BIROKRASI & ADMINISTRASI
NEGARA
I.
Pengertian
Istilah birokrasi sering
disebut-sebut di masyarakat, sayangnya istilah itu disalah artikan. Hal ini
yang tergambar di benaknya tentang birokrasi ialah urusan yang berbelit-belit,
pengisian formulir, pengurusan ijin, pengurusan yang lainnya yang melalui
banyak kantor, banyak meja, aturan yang berbelit-belit.
Kalau dilihat dari etimologi istilah
birokrasi berasal dari kata Yunani Bureau yang artinya meja tulis atau tempat
bekerjanya para pejabat. Birokrasi sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa
untuk melaksanan pelayanan public,sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi
adalah suatu tipe dari organisasi yang dimaksud untuk mencapai tugas-tugas
administrative yang besar dengan cara mengkordinasikan secara sistimatis
(teratur) pekerjaan-pekerjaan banyak orang.
(Peter M Blau :& Marsal W Mayer
(1956) Birokrasi mula-mula dibentuk warga supaya keputusan-keputusan pemerintah
dapat dilaksanajan dengan sistematis melalui aparat Negara. Keputusan-keputusan
politis akan bermanfaat begi setiap Negara jika pemerintah mempunyai birokrasi
yang tanggap, sistematis dan efesien.
Selanjutnya Peter M Blau mengatakan
bahwa birokrasi adalah organisasi yang memaksimemkan efesiensi dalam
adminitratif, sekaligus menyarankan agar istilah ini digunakan secara netral
untuk mengacu pada aspek-aspek administrative dari organisasi, dengan demikian
tujuan organisasi dapat dicapai dengan stabil. Peter Leonard secara singkat
mengatakanbahwa birokrasi adalah organisasi yang rational yang melaksanakan
tugas-tugas berdasarkan manajemen ilmiah. Oleh karana itu birokrasi
dilaksanakan dimana saja baik di Lingkungan pemerintah maupun swasta.
Biro (bureau) merupakan bentuk
organisasi, Menurut Downs (1967) diartikan sebagai bentuk organisasi yang
memiliki empat karakteristik utama sbb:
·
Organisasi bersekala besar, memiliki
jumlah anggota yang besar.
·
Mayoritas diantara anggota organisasi
bekerja secara full time yang menggantungkan pekerjaan pada organisasi untuk
mendapatkan panghasilan, diantara mereka memiliki kompetisi yang tinggi dalam
memberikan layanan
·
Promosi dalam biro didasarkan atas
penilaian kinerja mereka sesuai dengan peran yang dimainkan dalam organisasi,
bukan didasarkan atas factor agama, suku, ras. Golongan social dan hubungan
keluarga yang secara periodik, memilih pegawai yang berasal dari luar
birokrasi.
·
Hasil utama bukan dinilai secara
langsung dalam pasar dimana tempat terjadinya transaksi secara sukarela.
Birokrat sering digunakan dengan
berbagai konotasi . Secara individual birokrat dapat di cirikan efesien, jujur,
bekerja keras, teliti, public spirit dan nilai- nilai yang pada umumnya berbeda
dengan non birokrat.
Downs akhirnya menyimpulkan bahwa
birokrasi itu memiliki tiga pengertian’:
·
Birokrasi menujukkan suatu lembaga atau
tingkat lembaga khusus. Dengan kata lain bahwa birokarsi dinyatakan
sebagai konsep yang sama dengan biro (walau tidak semua orang sepandapat)
·
Birokrasi diartikan suatu metode
tertentu untuk mengalokasikan sumberdaya dalam organisasi yang berskala besar,
(pengertian ini sama dengan pembuatan keputusan birokrasi (bureaucratic
decision making).
·
Birokrasi sering digunakan dari berbagai
kesempatan dan jelas setelah dilihat dari konteknya.
Birokrasi menurut Weber diartikan
sebagai birokrasi yang ideal (ideal type of organization). Yang menpunyai
cirri-ciri sbb:
·
Adanya pembagian pekerjaan, hubungan
kewenangan dan tanggungjawab yang didifinisikan dengan jelas
·
Diorganisasikan secara hierarki atau
adanya komando
·
Pejabat manajerial dipilih dengan kualifikasi
teknis yang ditentukan oleh pendidikan dan ujian
·
Peraturan dan pengaturan dibuat mengarah
kepada pelaksanaan pekerjaan
·
Hubungan antara menejer dengan bawahan
atau antar pegawai bersifat impersonal
·
pegawai yang berorientasi pada karier
dan mendapatkan gaji yang tepat.
Pembagian pekerjaan dibagi kepada
orang-orang yang berada dalam organisasi , deangan prisip The right man on the
right place Job. Pekerjaan dikerjakan oleh orang-orang yang tepat sesuai
dengan kecakapan, pendidikan, dan pengalaman yang dimiliki.
No.
|
Ciri birokrasi
|
Fungsi
|
Disfungsi
|
1.
|
Pembagian
kerja
|
Keahlian
|
Rasa bosan
|
2.
|
Orientasi
Impersonal
|
Rasionalitas
|
Mengurangi moralitas
|
3.
|
Hierarki
wewenang
|
Disiplin, Patuh, Koordinasi
|
Menghalangi komunikasi
|
4.
|
Peraturan & Pengaturan
|
Uniformitas & Kontinyuitas
|
Kekakuan, Penggeseran tujuan
|
5.
|
Orientasi karier
|
Insentif, prestasi
|
Konflik senioritas & prestasi
|
Walaupun birokrasi ala Weber banyak
mendapat kritik disana-sini namun birokrasi Weber ini dapat dijadikan sebuah
norma untuk menilai kinerja dari birokrasi tsb. Sebuah nilai yang ingin dicapai
oleh Weber ini adalah suatu birokrasi yang ideal, birokrasi yang efisien
organisasi.
Dari Uraian di atas apabila
dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan maka birokrasi berkenaan
dengan kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang
dilaksanakan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat dalam makna
birokrasi yang demikian itu Yahya Muhaimin (1991) mengemukakan birokrasi
sebagai keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang tugas membantu
pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
II.
Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
Etika Administrasi negara (birokrasi
publik) sebagai perangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan
manusia dalam organisasi (Muhajir Darwin, 1999). Dengan demikian etika
Administrasi negara (birokrasi publik) memiliki dua fungsi :
·
Sebagai pedoman, referensi bagi
Administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakan dalam organisasi dapat dinilai baik, terpuji dan
tidak tercela.
·
Etika Administrasi negara (birokrasi
publik) sebagai standar penilaian sifat, perilaku dan tidakan administrasi
negara (birokrasi publik) di nilai baik, terpuji dan tidak tercela.
Seperti telah dikemukakan pada
pertemuan-pertemuan sebelumnya. Bahwa etika merupakan cabang dari ilmu
filsafat, nilai, dan moral. Etika bersifat abstrak dan mempersoalkan baik dan
buruk, bukan mempersoalkan benar dan salah. Sedangkan birokrasi publik
(administrasi negara) bersifat kongkrit dan harus mewujudkan apa yang harus di
inginkan.(get the job done). Berdasarkan gambaran ini timbul masalah :
Bagaimana menghubungkan antar
birokrasi publik seperti ketertiban, efesiensi, kebijakan publik, kemanfaatan,
produktivitas yang dapat menjelaskan etika dalam praktek.
Bagaimana
gagasan-gagasan etika seperti mewujudkan baik dan minghidari yang buruk untuk
menjelaskan hakekat administrasi publik (birokrasi publik).
Pertanyaan berikutnya adalah apa
yang menyebabkan berkembangnya kajian-kajian mengenai etika birokrasi publik
muncul. Menurut Nicholas Henry (1995) ada tiga faktor yang
menyebabkan konsep etika administrasi negara (birokrasi publik) menjadi
berkembang.
Hilangnya
dekotomi politik dan administrasi negara
Tampilnya teori-teori pengambilan
keputusan, ketika masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan
dengan pendekatan sebelumnya, yaitu rationalitas, efesiensi.
Berkembangnya pemikiran-pemikiran
pembaruan yang disebutkan sebagai counter cultur critiqu dalam kelompok
Administrasi Negara Baru.
III.
Pentingnya Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
Etika yang menganalisis tentang
moralitas, yang mempersoalkan tentang baik dan buruk bukan benar dan salah,
tentang sikap tindakan dan perilaku manusia dalam hubangan dengan sesamanya
dalam masyarakat, organisasi publik atau bisnis, maka etika memiliki peran yang
penting dalam praktek administrasi negara (birokrasi publik).
Dalam paradigma dekotomi politik dan
administrasi seperti yang dijelaskan oleh Wilson di jelaskan bahwa pemerintah
memiliki dua fungsi yang berbeda (two distinct functions of government)
yaitu fungsi politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik yang
berkaitan dengan pembuatan kebijakan publik sedang fungsi administrasi bekenaan
dengan pelaksanaan kebijakan publik. Jadi kekuasaan membuat kebijakan publik ada
dalam kekuasaan politik dan melaksanakan kebijakan ada dalam administrasi
negara. Namun karena administrasi negara (birokrasi publik) dalam melaksanakan
kebijakan publik, yakni keleluasaan untuk menafsirkan kebijakan politik dalam
bentuk program, proyek maka timbul pertanyaan apakah dalam melaksanakan itu
dapat dijamin bahwa itu dilaksanakan dengan baik dan benar. Atas dasar inilah
etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi publik). Etika dapat
dijadikan pedoman, referensi dan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh
birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik. Disamping itu dapat dipakai
ukuran nilai atau standar penilaian perilaku, apakah kebijakan itu dijalankan
dengan baik.
Administrasi negara (birokrasi
publik) dipandang telah melenceng dari yang seharusnya (Applebei 1952).
Administrasi negara (birokrasi publik) selalu dilihat sebagai masalah teknis,
bukan dilihat masalah moral sehingga timbul dari berbagai persoalan dalam
bekerjanya Administrasi negara (birokrasi publik) (Golembiewski, 1965).
Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai organisai yang ideal, telah
merusak dirinya dan masyarakat dengan ketiadaan nilai-nilai moral dan etika
yang berpusat pada manusia (Hammel, 1987).
Berdasarkan penjelasan diatas maka
dapat disimpulkan bahwa etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi
publik), bukan saja berfungsi sebagai pedoman, referensi dan penuntun apa yang
harus dilakukan dalam menjalankan tugas, tetapi juga berfungsi sebagi standar
dalam menilai apakah sifat dan perilaku serta tindakan sesuai dengan
norma-norma yang berlaku.
IV.
Pendekatan Teori Etika dalam Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
Kita
sudah berbicara berbagai teori etika seperti :
Deontologi : suatu tidakan
dikatakan baik bukan karana tujuan atau akaibatnya baik, tetapi karena
kewajiban yang memang tidakan itu harus dilakukan, terlepas dari tujuan atau
akibat dari tidakan itu baik atau buruk. Lalu bagaimana administrasi publik
(birokrasi publik) dalam melaksanakan tugasnya dilakukan berdasarkan kewajiban
yang di embannya. Dengan demikian tugas-tugas dapat dilakukan dengan penuh
tanggung jawab, tidaksekedar main-main.
Fox (1994), antara lain
mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontologi dalam
etika administrasi ini.
Pertama, pandangan mengenai keadilan
sosial, yang muncul bersama berkembangnya “Administrasi Negara Baru” (antara
lain Frederickson dan Hart, 1985). Menurut pandangan ini administrasi negara
haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial
(social equity). Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi
negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka
yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik, memperoleh
posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan,
administrasi haruslah membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan
dan tidak terorganisasi. Pandangan ini, cukup berkembang, meskipun di dunia
akademik banyak juga pengeritiknya.
Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan
ini
terutama bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa
etika administrasi negara harus mengacu kepada nilai-nilai yang melandasi
keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk kepada
konstitusi, yang harus menjadi landasan etika para administrasi di negara itu.
Ketiga, tatanan moral universal atau
universal moral order (antara lain Denhardt,
1988,
1991). Pandangan ini berpendapat bahwa ada nilai-nilai moral yang bersifat
universal yang harus menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalahnya di
sini ada lah nilai-nilai moral itu sendiri banyak yang dipertanyakan karena
beragamnya sumbernya dan juga kebudayaan serta peradaban. (Ginanjar Kartasasmita).
Teleologi : suatu tindakan
dikatakan baik apabila memiliki tujuan dan akibatnya baik. Didalam administrasi
publik (birokrasi publik) harus dapat menghasilkan dampak yang baik terhadap
seluruh masyarakat. Dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh wrgam
masyrakat. Seluruh tindakan yang dilakukan memiliki dampak yang baik. Dengan pendekatan
yang pertama adalah apa yang disebut ethical egoism, yang berupaya
mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang amat dikenal di sini adalah Niccolo
Macheavelli, seorang birokrat Itali (Florensia) pada abad ke -15, yang
menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar bagi
seorang administrator pemerintah. Namun demikia menurut Khan kedalam melakukan
tindakan harus dibarengi dengan niat baik.
V. Prisip Nilai Etika Administrasi
Negara (Birokrsi Publik)
Disamping prinsip-prinsip dasar
etika terdapat seperangkat nilai yang digunakan dalam pengukuran administrasi
negara (birokrasi Publik), apakah perilaku atau perbuatan administrasi negara
(birokrasi Publik) dapat dikatakan baik atau buruk, terpuji atau tercela
adalah :
1.
Efesiensi : yang artinya tidak boros.sikap perilaku dan perbuatannya
administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan baik apabila efesiien atau
tdak boras, artinya dalam penggunaan dana-dana publik atau penggunaan
ressources secara efesien dengan hasil yang optimal. Ressources yang dimiliki
atau yang disediakan tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang tidak
menyentuh kepentingan masyarakat luas, apalagi untuk kepentingan pribadi.
Dengan demikian nilai efesiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber dana dan
sumberdaya yang tepat, tidak boros, dan dapat dipertanggung jawabkan.
2.
Nilai yang membedakan milik pribadi dengan milik dinas. administrasi negara
(birokrasi Publik) yang baik adalah administrasi negara (birokrasi Publik) yang
dapat membedakan mana milik pribadi dan mana milik negara /dinas. Artinya
mereka tidak akan menggunakan barang milik negara/dinas untuk kepentingan
pribadi. Mereka hanya akan menggunakan barang-barang milik negara untuk
kepantingan publik/negara
3.
Nilai Responsibel berkaitan dengan tanggungjawab administrasi negara (birokrasi
Publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. administrasi negara
(birokrasi Publik) yang baik adalah administrasi negara (birokrasi Publik) yang
responsibel. Menurut Carl J. Friedrich merupakan konsep yang berkenaan dengan
standar profesional dan kompetensi tehnik yang dimiliki administrator dalam
menjalankan tugasnya. administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan
responsibel jika pelakunya memiliki standar profesionalisme atau kompetensi
tehnik yang tinggi. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap sikap dan perilaku
administrasi negara (birokrasi Publik) harus memiliki standar penilaian
tersendiri yang sifatnya administratif atau teknis dan bukan politis.
Administrasi negara (birokrasi Publik) harus memiliki rasa tanggungjawab,
dengan rasa tanggungjawab mereka akan melaksanakan tugas yang diembanya dengan
sepenuh hati. Mereka tidak melakukan korup kendati mereka ada pada lingkungan
yang korup. Bahkan mereka ingin merubah lingkungannya dan sistemnya untuk
menjadi lebih baik, walaupun ada resiko terhadap dirinya.
4.
Nilai akuntabilitas ; Administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik
adalah yang akuntabel. Menurut Harry Hatry akuntabel adalah merupakan istilah
yang digunakan untuk mengukur apakah dana publik atau ressources yang ada sudah
digunakan dengan tepat guna untuk tujuan yang telah ditetapkan, tidak digunakan
untuk yang lain. Sedangkan menurut Herman Finner, akuntabilitas suatu konsep
berkenaan dengan dengan standar eksternal yang menentukan suatu tindakan
administrasi negara (birokrasi Publik). Akuntabilitas dimulai dari orang atau
institusi yang berasal dari luar dirinya, yang sering disebut tanggungjawab
yang bersifat obyektif. Administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan
akuntabel jika mereka di nilai obyektif oleh orang atau masyarakat atau yang
mewakili dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, sikap dan sepak terjangnya
darimana wewenang dan kekuasaannya itu diperoleh. Politisi harus
mempertanggungjawabkan tindakannya kepada kelompok pemilihnya, Eksekutif harus
mempertanggungjawabkan implementasi kebijakan yang dilakukan kepada legislatif.
Yang akhirnya baik eksekutif dan legislatif harus mempertanggungjawabkan kepada
rakyatnya.
5.
Nilai responsivitas ; yang berkaitan dengan daya tanggap untuk menanggapi
yang menjadi keluahan, masalah dan aspirasi publik. Administrasi negara
(birokrasi Publik) dikatakan baik apabila administrasi negara (birokrasi
Publik) responsif yaitu memiliki daya tanggap yang tinggi dan cepat terhadap
apa yang menjadi keluhan, masalah, aspirasi publik dalam membarikan pelayanan
publik. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik,dan berusaha
semaksimal mungkin untuk memenuhinya. Ia dapat menangkap aspirasi masyarakat
atau masalah yang dihadapi dan berusaha untuk mencari solusinya. Mereka tidak
suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan atau mengutamakan
prosedure tetapi mengabaikan subtansinya.
6.
Nilai impersonal ; Administrasi negara (birokrasi Publik) dakatakan baik
apabila dalam melaksakan hubungan dengan sesama atau antar bagian dalam
birokrasi bersifat impersonal artinya dalam melakukan komunikasi bersifat
formal, tidak ada hubungan yang bersifat pribadi. Hubungan pribadi hanya dapat
dilakukan dilur dinas. Hubungan pribadi harus dihidari agar dalam memberikan
pelayanan tidak terjadi penonjolan unsur pribadi dari pada unsur ratio yang
menyebabkan ketidak adilan.
7.
Nilai merit system ; Administrasi negara (birokrasi Publik)
dakatakan baik apabila dalam penerimaan atau promosi pegawai tidak dilaksanakan
berdasarkan kekerabatan, patrimonial, akan tetapi didasarkan atas pengetahuan,
ketrampilan kemampuan dan pengalaman yang oleh orang yang bersangkutan. Dengan
dianutnya nilai ini maka akan menjadikan orang-orang yang melaksanakan
kebijakan akan menjadi profesional, yang diharapkan dalam memberikan pelayanan
pada masyarakat menjadi lebih baik.
Daftar
Pustaka
Ati,
Ayuning Mustika. 2010. Etika Birokrasi dalam Administrasi Publik. (online),
http://www.scribd.com/feeds/rss. diakses 23 Maret 2012.
Haryanto.
2002. Kuliah Birokrasi Indonesia. Politik Lokal Otonomi Daerah. Jogjakarta :
Program Pascasarjana UGM.
Indrawanto.
2004. Teori Administrasi Piublik dan Birokrasi. Malang : Taroda
Kartasasmita,
Ginandjar. 1996. Etika Birokrasi dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Menghadapi
Era Globalisasi. Yogyakarta. www.ginandjar.com