Jumat, 30 Oktober 2015

Administrasi Negara dan kebijakan publik

Administrasi Negara dan kebijakan public
  Pada dasarnya administrasi negara adalah suatu studi yang mempelajari tentang bagaimana cara menjalankan dan mengelola kegiatan kepemerintahan dalam suatu negara. Seperti yang dinyatakan oleh Edward Litchfield Administrasi negara adalah studi mengenai bagaimana bermacambermacam badanbadan pemerintahan diorganisir, dilengkapi tenagatenaganya dibiayai, digerakkan, dan dipimpin. Namun dalam perkembangannya Studi Administrasi negara juga dituntut untuk menjadi motor dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan melibatkan berbagai elemen didalamnya. Fase ini disebut era administrasi negara sebagai new public service. Ilmu administrasi negara dituntut untuk menjadi solusi bagi setiap permasalahan yang muncul ditengahtengah masyarakat dan mampu memenuhi kebutuhan dan melayani kepentingan masyarakat dalam suatu negara.
Masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat suatu negara tentunya terus bekembang sesuai dengan pertumbuhan dan dinamika yang terus terjadi, sehingga masalah tersebut menjadi semakin pelik dan complex serta menuntut penyelesaian yang sangat mendesak. Masalahmasalah tersebut ada yang saling berkaitan dan ada juga yang saling berlawanan, sehingga solusi pemecahannya menjadi rumit. Untuk itu ilmu administrasi negara memerlukan sebuah dimensi yang mampu memberikan solusi terhadap kondisi yang seperi demikian. Dan dimensi ini dikenal dengan sebutan kebijakan Public. Dimensi kebijakan public ini ditujukan untuk menganalisis proses pembentukan masalah yang yang muncul pada tatanan pemerintah dan masyarakat, penetapan solusi, penerapan kebijakan (implementasi), dan evaluasi.

Menurut Solly lubis sasaran utama kebijakan publik adalah hubungan antara konsep konsep dan penerapannya yaitu bagaimana kebijakan publik dimulai dari awal hingga akhir, sejak pengumpulam masukan (input) sampai lahir keluarannya (output).
  Dalam ilmu administrasi negara dimensi kebijakan public menjadi sarana untuk melayani kepentingan public (umum) dan menetapkan starategi pembangunan untuk mensejahterakan rakyat. Kebijakan public merupakan serangkaian tindakan yang ditetapakan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan negara. Lembaga negara (public institution) bertanggung jawab untuk merancang srategi yang mampu melayani masyarakat yang bersifat public need (kebutuhan public) dan public orientation (oerintasi public). Dengan demikian melalui kegiatan adaministrasi negara yang berdimensi kebijakan public, pemerintah bertindak sebagai penyelenggara public service (pelayanan masayarakat) yang melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat (public servant).
Hubungan studi kebijakan public dengan ilmu lain :
Kebijakan public dan ilmu politik
            Bagi Ilmu politik yang salah satu focus kajiannya adalah  kekuasaan yang dimiliki pemerintah, kajiana kebijakan public berfungsi untuk menjelaskan sebab dan akibat dari aktivitas kepemerintahan. Kejadian sebab akibat tersebut dapat dilhat dan dianalisis melalui kebijakan (public policy) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Setiap kebijakan  public yang dibuat oleh  pemerintah melibatkan analisis tentang dampak sosial yang terjadi dimasyarakat baik yang disukai atau tidak disukai, pengaturan institusional, dan kekuatankekuatan politik yang mempengaruhi isi dan lahirnya kebijakan politik tersebut serta evaluasi terhadap kebijakan telah dijalankan .
Kebijakan public dan Birokrasi
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa kebijakan public selalu dihubungkan dengan kegiatan - kegiatan pemerintah, maka public policy tidak dapat dipisahkan dari birokrasi. Proses kebijakan public yang secara pokok menetapkan garisgaris umum dalam rangka memecahkan persoalan di masyarakat tidak bisa terlepas dari lembaga- lembaga pemerintah. Meskipun didalam banyak hal public policy dibuat dalam arena politik, tetapi hampir semua perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan dalam arena birokrasi. Hal ini disebabkan karena posisi birokrasi yang strategis, mempunyai keahlian dan profesional dalam menjalankan fungsinya. Sehinnga posisi birokrasi sangat menentukan suatu kebijakan public.
Kebijakan public dan adminis
        Ilmu administrasi negara trasi negara merupakan suatu cabang Ilmu yang bersifat applied science (ilmu terapan) yang menetapkan kebijakan public sebagai salah satu dimensi yang digunakan dalam penerapan secara praktis. Proses kebijakan public yang meliputi halhal yang bersifat politis dan birokratis merupakan domain utama dalam lingkup ilmu administarsi negara yang memfokuskan kajiannya pada praktekpraktek peneyelenggaraan negara secara efektif dan efisien



Terima kasih,..

Jumat, 21 Agustus 2015

Teori Kebijakan Publik Sebagai Proses


Teori Kebijakan Publik

A. Teori Kebijakan Publik Sebagai Proses

Persepsi bersama bahwa masalah ini merupakan masalah yang tepat untuk beberapa satuan pemerintah dan jatuh dalam batas-batas kewenangannya. Sedangkan proses agenda setting terdiri dari tiga tahap menurut Davies, (1) inisiasi, (2) difusi, dan (3) pengolahan. Pada tahapinisiasi, masalah publik menciptakan permintaan untuk tindakan. Pada tahap difusi, tuntutanini dialihkan ke isu-isu bagi pemerintah. Pada tahap pengolahan, masalah diubah menjadiagenda. Davies juga berpendapat bahwa banyak isu yang dimulai dalam pemerintah sendiridaripada asumsi umum bahwa masalah muncul dalam masyarakat umum dan bekerja dengancara mereka ke dalam agenda pemerintah. Proses penyusunan agenda yang sudah dipilah pemerintah dan dimasukan menjadi isumerupakan sesuatu yang dapat dilaksanakan dengan mudah. Karena masalah publik yangditangani pemerintah tak hanya meliputi satu aspek atau publik, sehingga proses  penangananmasalah tersebut menjadi suatu isu pemerintah dan kemudian dipecahkan menjadi satukebijakan dapat memakan waktu yang lama. Untuk mempercepat proses tersebut, peranmedia dibutuhkan untuk mendengungkan masalah public yang ada. Seperti yang diketahuimedia berfungsi mengamati atas suatu permasalahan (Harold laswell dalam Alwi Dahlan,2008) kemudian di publikasikan agar masalah public dapat memperoleh  perhatian masyarakat.

B. Tipologi Isu Kebijakan & Perumus Agenda Kebijakan

Jika masalah-masalah kebijakan benar-benar merupakan keseluruhan dari sistem masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleksnya. Isu-isu kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksetujuan mengenai serangkaian aksi yang aktual atau potensial; tetapi juga mencerminkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat dari masalah-masalah itu sendiri. Kompleksitas isu-isu kebijakan dapat diperlihatkan dengan mempertimbangkan  jenjang organisasi di mana isu-isu itu diformulasikan. Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan sesuai dengan hirarki dari tipe: utama, sekunder, fungsional, dan minor. Isu-isu utama (major issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di antara  jurisdiksi/wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu utama secara khusus meliputi  pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat dan tujuan organisasi-organisasi pemerintah. Isu seperti apakah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat harus berusaha menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan mengenai misi lembaga. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas program dan definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu mengenai bagaimana mendefinisikan kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua. Sebaliknya, isu-isu fungsional (functional issues), terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan- pertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu minor (minor issues), adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek- proyek yang spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.
Jones menyatakan bahwa  ‘’not all problems become public, not all public problems became issues, and not all issues are acted on in government agenda’’.

( tidak semua masalah dapat menjadi masalah umum/public, dan tidak semua masalah public dapat menjadi issu, dan tidak semua issu dapat menjadi agenda pemerintah). Apabila menginginkan suatu kebijakan publik mampu memecahkan masalah publik (public problem), masalah publik harus dirumuskan menjadi masalah kebijakan (policy  problems). Menurut Tomas Dye, tahapan mendefinisikan masalah itu disebut Agenda Setting. 
Kondisi masyarakat yang tidak didefinisikan sebagai masalah dan alternatif solusi tidak  pernah diusulkan, tidak akan pernah menjadi isu kebijakan ( policy issues). Kegiatan menjadikan masalah publik ( public problems) menjadi masalah kebijakan ( policy problems) sering disebut dengan penyusunan (agenda setting).
 Agenda setting
adalah sebuah fase dan  proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Karena dalam proses inilah ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda  publik dipertarungkan. Penyusunan agenda pemerintah (agenda setting ) dimulai dari kegiatan fungsional, meliputi Persepsi, Definisi, Agregasi, Organisasi dan Representasi; yang bermuara pada terusungnya suatu masalah publik dan atau suatu isu publik menjadi suatu masalah yang oleh  pemerintah (pembuat kebijakan) dianggap penting untuk dicari jalan keluarnya melalui kebijakan publik. Produk riil dari proses penyusunan agenda pemerintah adalah terakomodasinya kepentingan publik (masalah publik) menjadi opini publik, kemudian menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya menjadi masalah prioritas yang akan dicarikan  penyelesaiannya.

C. Model Penetapan Agenda Kebijakan

Cobb, Ross, dan Ross dalam Stewart mengidentifikasi tiga model yang berbeda dari agenda setting.
Model pertama adalah model inisiatif luar, yang sangat mirip dengan modelasli diusulkan oleh Cobb dan Elder. Model kedua mereka adalah model mobilisasi, dimanaisu-isu tersebut dimulai di dalam pemerintahan dan status agenda akhirnya tercapai. Model kedua ini mirip dengan yang disarankan earlierby Davies. Model ketiga mereka disebut model inisiatif dalam, yang menggambarkan sebuah proses di mana masalah muncul dalam pemerintah tetapi tidak diperluas ke masyarakat umum. Pendukung isu itu diinginkan untuk menjaga masalah dalam arena pemerintahan secara eksklusif. Cobb & Elder (Anderson, 1979) mengklasifikasikan agenda kebijakan atas dua jenis, yaitu: 
1. Agenda Sistemik (systemic agenda): terdiri atas semua isu yang dipandang secara umum oleh anggota masyarakat sebagai masalah yang patut memperoleh perhatian  publik, mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap  jenjang pemerintahan masing-masing. 
2. Agenda Pemerintah (governmental agenda): adalah serangkaian masalah yang secara tegas mendapat perhatian aktif dan serius dari pembuat kebijakan, guna mendapatkan  penyelesaian melalui kebijakan publik yang otoritatif. Kapan suatu isu kebijakan menjadi Systemic Agenda ?

Adanya persepsi yang sama dari masyarakat, bahwa masalah itu adalah merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang syah dari beberapa unit pemerintahan (Cobb dan Elder dalam Jones 1984). Apabila sejumlah masalah publik telah tampil sebagai agenda pemerintah, langkah selanjutnya adalah kewajiban pembuat kebijakan untuk memprosesnya dalam beberapa fase  berikut (Jones, 1996):
1. Problem definition agenda → pada fase ini masalah publik dirumuskan dan mendapat
 perhatian serius dari pembuat kebijakan.
2. Proposal agenda → pada fase ini masalah publik telah mencapai tingkat diusulkan
untuk menjadi kebijakan publik; jadi ada pergeseran dari perumusan masalah menuju  pemecahan masalah. 
3. Bargaining agenda → pada fase ini usulan - usulan kebijakan ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara aktif dan serius. 
4. Continuing agenda → pada fase ini suatu masalah didiskusikan dan dinilai secara
terus menerus (terikat dengan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus  pula) sampai agenda ini dinyatakan gagal atau berhasil menjadi kebijakan publik. Kondisi Nondecision-making Peter Bachrach dan Morton Baratz (dalam Islamy, 2005) memberikan pendapat mengenai tindakan untuk tidak membuat keputusan (nondecision-making) yang diambil oleh  para pembuat kebijakan merupakan suatu cara dengan mana tuntutan-tuntutan untuk melakukan perubahan terhadap pengalokasian keuntungankeuntungan dan hak-hak istimewa  pada masyarakat dapat ditekan atau dihilangkan bahkan sebelum sempat disampaikan, atau dibiarkan tetap tertutup; atau dimatikan sebelum hal tersebut memperoleh kekuatan untuk  bisa muncul dalam arena pembuatan kebijakan yang sesuai. Penolakan tersebut mungkin dapat dilakukan dengan cara: 
1. Menggunakan kekuatan (kekuasaan) tertentu, atau dengan kata lain menggunakan tekanan;
2. Mungkin juga menggunakan nilai-nilai dalam masyarakat (ataupun para pembuat kebijakan) untuk menolak pembuatan keputusan dan kebijakan tersebut; dan 
3. Karena untuk mempertahakan status-quo sehingga pembuat keputusan tidak merumuskan kebijakan dengan alasan untuk menghindari atau menghilangkan konflik yang terjadi diantara para pembuat kebijakan.  Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa pendapat Thomas Dye mengenai definisi kebijakan publik yaitu bahwa membuat keputusan ataupun tidak membuat keputusan pada dasarnya sama-sama membawa konsekuensi bagi masyarakat.

D. Faktor-Faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan

a. Faktor Politik. Dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai faktor kebijakan (policy aktor), baik aktor – aktor dari kalangan pemerintah (Presiden, menteri,  panglima TNI dan lain-lain), maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, media massa, LSM dan lain-lain).  
b. Faktor Ekonomi / Finansial. Faktor ini perlu dipertimbangkan, terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam negara/daerah, seperti yang kita ketahui bersama, sejak diberlakukannya Otonomi Daerah kepada Kabupaten/Kota di Indonesia, sejak saat itu pula semua daerah sudah berlomba-lomba untuk membuat/memunculkan ide-ide baru dalam bentuk kebijakan tanpa memperhatikan keuangan daerah, sehingga banyak pula daerah dalam pelaksanaan anggaran mengalami defisit, dan jelas hal ini mempengaruhi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan  pembangunan masyarakat. 
c. Faktor Administrasi / Organisatoris.
 Apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administrative yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu. Dalam kemampuan administrative termasuk kemampuan Sumber Daya Aparatur yang melaksanakan kebijakan pemerintahan, kadang kala banyak dipaksakan dengan Sumber Daya yang ada, misalnya dengan terbukanya aturan untuk memperbolehkan daerah melakukan pemekaran daerah, maka dengan segala usaha dan upaya yang ada Provinsi, Kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran, bayangkan saja sekarang saja untuk Indonesia keadaan tahun 2013 sudah ada 34 Provinsi dengan 497 Kabupaten/Kota, tetapi pertanyaan yang timbul apakah Sumber Daya Aparatur yang mendukungnya sudah sesuai dengan kompetensi (persyaratan) yang sudah ditetapkan oleh aturan tersendiri. Kemudian apakah organisasi pemerintah daerah yang dibentuk sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan  pembentukan organisasi (tidak tumpang tindih/overlaping). Apalagi sesuai konsep reformasi  birokrasi yang sedang diakbarkan mulai dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penataan kelembagaan tidak boleh adanya tumpang tindih antara organisasi yang satu dan yang lainnya, seandainya ini terjadi harus dilakukan evaluasi kembali. 
d. Faktor Teknologi. Apakah teknologi yang ada dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan, apabila kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan. Secara kenyataan teknologi yang ada pada  prinsipnya dapat mendukung kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, tetapi kadang kala  permasalahan adalah yang mempergunakan teknologynya (SDM) tidak siap dengan teknology yang ada, contoh sederhana perangkat komputer / laptop hanya dipergunakan kebanyakan untuk mengetik, dan kalau dilihat kepada program-program yang ada dalam  perangkat tersebut mampu mengimplementasikan untuk kegiatan-kegiatan/penciptaan lainnya tergantung kepada kesiapan SDA nya. 

e. Faktor Sosial, budaya dan Agama. Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya dan agama atau yang sering disebut masalah SARA, seperti yang baru terjadi di Kota Padang dalam rencana pembangunan Rumah Sakit SLAOM dan kegiatan ekonomi, dikritik oleh masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat, karena akan berpengaruh tegaknya agama Islam. Hal ini  juga harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah, disatu sisi Pemerintah ingin memajukan daerah dan meningkatkan ekonomi masyarakat dengan mendatangkan investor luar untuk membangun daerah, dan disatu sisi masyarakat juga melakukan protes terhadap rencana pembangunan tersebut, maka disinilah yang diperlukan sekali Sinergi antara masyarakat dan  pemerintah sehingga mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama dalam membangun daerahnya
f. Faktor Pertahanan dan keamanan. Apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tidak akan mengganggu stabilitas keamanan negara/daerah, misalnya dalam pembangunan gerbang batas negara/daerah yang kadang-kadang dapat menimbulkan konflik antar daerah dan masyarakat, maka itu yang sangat diperlukan disini adalah melakukan sosialisasi dengan  berbagai pihak yang terkait dan koordinasi antara negara dengan negara atau antara daerah yang berbatasan.




                      DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Riant, 2004, Kebijakan Publik “Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi”, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Presindo.

Rabu, 19 Agustus 2015

Sistem Sosial dan Sistem Politik

Sistem dapat diartikan sebagai sebuah rangkaian yang saling keterkaitan antar beberapa bagian sampai bagian yang terkecil, bila suatu bagian atau subbagian terganggu maka bagian yang lain juga akan merasakan ketergangguan tersebut. 

Menurut Pmudji, sistem adalah :
“suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan ataukeseluruhan yang kompleks atau utuh.”

Jadi, sistem adalah kesatuan yang utuh yang selalu memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya dan selalu memperngaruhi. Pemerintahan indonesia adalah suatu contoh sistem, dan anak cabangnya adalah sistem sistem pemerintahan daerah, kemudian seterusnya pemerintahan desa dan kelurahan. Pengertian politik kemudian berkembang menjadi suatu proses pembentukan dan  pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. 

Definisi Sistem Politik

Menurut G.A Almond, dan G.B. Powell Sistem Politik adalah usaha untuk mengadakan pencarian ke arah ruang lingkup yang lebih luas, realisme, persisi, dan ketertiban dalam teori politik agar hubungan yang terputus antara comparative government dengan political theory dapat ditata kembali.

Sistem politik adalah bagian dari sistem dari sistem sosial itu sendiri. Perspektif atau pendekatan sistem politik melihat dari keseluruhan interaksi yang terjadi dalam suatu sistem sosial yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara  bagian-bagian pembentuknya. Kehidupan politik dari pendekatan sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada, kita bisa melihat pada struktur hubungannya antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya, merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok  penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut  pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga  politik, dan perilaku politik. Kita bisa mengambil salah satu contoh dari DPR, MPR. Disana negara sebagai kekuatan yang besar dalam terbentuknya lembaga tersebut, namun di dalam lembaga itu terdapat berbagai fraksi dari partai-partai yang menjabat sebagai wakil rakyat, ini merupakan subsistem yang dapat membentuk sistem sosial yang utuh sehingga dapat dijadikan sebagai lembaga-lembaga politik yang menjadi pelaku danbudaya dari sistem  politik itu sendiri. Suatu sistem politik dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa faktor interen yang terjadi di suatu negara itu sendiri.

Adapun faktor yang dapat membentuk sistem politik itu adalah:

A. Budaya (culture).
  Pada dasarnya disaat suatu negara terbentuk (negara baru) budaya penduduk akan langsung melekat didalam sistem politik itu sendiri, karena budaya (culture) merupakan karakteristik dari penduduk rakyat tersebut, bagaimana penduduk menjalankan sistem politik itu dengan tanpa adanya ketimpangan sosial politik. 

 b. Partai.

 c. Mahasiswa (kaum berpendidikan). 

Suatu sistem politik akan berjalan dengan baik apabila rakyat civil dalam suatu negara mengerti terhadap cara bagaiman sistem politik dapat berjalan sehingga akan berdampak terhadap kebijakan-kebijakan dalm menjalankan sistem politik itu sendiri.

 d. Elit tradisional 

Pada awal kemerdekaan Indonesia munculnya western education class sebagai elite politik baru sangat berpengaruh terhadap sistem politik yang dijalankan oleh Indonesia. Hal ini bisa kita lihat dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh elite politik tersebut dalam negara Indonesia yang menerapkan sistem politik seperti negara-negara barat. Contoh dari western education class sebagai elite politik baru adalah Soekarno dan Syahrir.

Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap di antara elemen-elemen pembentuknya

Perbedaan Sistem Sosial dan Sistem Politik :

Sistem sosial merupakan keseluruhan struktur sosial yang saling berhubungan satu sama lain melalui proses sosial. Sedangkan sistem politik berkaitan dengan pengalokasian sumber daya dan penggunaan kekuasaan.

Hubungan Sistem Sosial dan Sistem Politik :

Menurut Robert A. Dahl, sistem politik adalah sebuah pola terus-menerus dari hubungan masyarakat sampai pada batas yang signifikan, yang berhubungan dengan kontrol, pengaruh, kekuasaan atau otoritas. Sistem sosial lebih umum daripada sistem politik. Sistem sosial tidak hanya menyangkut tentang politik, tetapi juga ekonomi, budaya, agama, dan lain-lain. Sedangkan sistem politik merupakan salah satu bidang yang di dalamnya terdapat proses sosial yang dipelajari dalam sistem sosial. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem politik merupakan bagian atau sub sistem dari sistem sosial. Dan tentu saja keduanya berhubungan.

Jumat, 15 Mei 2015

Makalah ETIKA BIROKRASI & ADMINISTRASI NEGARA

ETIKA BIROKRASI & ADMINISTRASI NEGARA

I.       Pengertian
            Istilah birokrasi sering disebut-sebut di masyarakat, sayangnya istilah itu disalah artikan. Hal ini yang tergambar di benaknya tentang birokrasi ialah urusan yang berbelit-belit, pengisian formulir, pengurusan ijin, pengurusan yang lainnya yang melalui banyak kantor, banyak meja, aturan yang berbelit-belit.
            Kalau dilihat dari etimologi istilah birokrasi berasal dari kata Yunani Bureau yang artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Birokrasi sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanan pelayanan public,sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi adalah suatu tipe dari organisasi yang dimaksud untuk mencapai tugas-tugas administrative yang besar dengan cara mengkordinasikan secara sistimatis (teratur) pekerjaan-pekerjaan banyak orang.
            (Peter M Blau :& Marsal W Mayer (1956) Birokrasi mula-mula dibentuk warga supaya keputusan-keputusan pemerintah dapat dilaksanajan dengan sistematis melalui aparat Negara. Keputusan-keputusan politis akan bermanfaat begi setiap Negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang tanggap, sistematis dan efesien.
            Selanjutnya Peter M Blau mengatakan bahwa birokrasi adalah organisasi yang memaksimemkan efesiensi dalam adminitratif, sekaligus menyarankan agar istilah ini digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrative dari organisasi, dengan demikian tujuan organisasi dapat dicapai dengan stabil. Peter Leonard secara singkat mengatakanbahwa birokrasi adalah organisasi yang rational yang melaksanakan tugas-tugas berdasarkan manajemen ilmiah. Oleh karana itu birokrasi dilaksanakan dimana saja baik di Lingkungan pemerintah maupun swasta.
            Biro (bureau) merupakan bentuk organisasi, Menurut Downs (1967) diartikan sebagai bentuk organisasi yang memiliki empat karakteristik utama sbb:
·         Organisasi bersekala besar, memiliki jumlah anggota yang besar.
·         Mayoritas diantara anggota organisasi bekerja secara full time yang menggantungkan pekerjaan pada organisasi untuk mendapatkan panghasilan, diantara mereka memiliki kompetisi yang tinggi dalam memberikan layanan
·         Promosi dalam biro didasarkan atas penilaian kinerja mereka sesuai dengan peran yang dimainkan dalam organisasi, bukan didasarkan atas factor agama, suku, ras. Golongan social dan hubungan keluarga yang secara periodik, memilih pegawai yang berasal dari luar birokrasi.
·         Hasil utama bukan dinilai secara langsung dalam pasar dimana tempat terjadinya transaksi secara sukarela.
            Birokrat sering digunakan dengan berbagai konotasi . Secara individual birokrat dapat di cirikan efesien, jujur, bekerja keras, teliti, public spirit dan nilai- nilai yang pada umumnya berbeda dengan non birokrat.
            Downs akhirnya menyimpulkan bahwa birokrasi itu memiliki tiga pengertian’:
·         Birokrasi menujukkan suatu lembaga atau tingkat lembaga khusus. Dengan kata lain bahwa birokarsi  dinyatakan sebagai konsep yang sama dengan biro (walau tidak semua orang sepandapat)
·         Birokrasi diartikan suatu metode tertentu untuk mengalokasikan sumberdaya dalam organisasi yang berskala besar, (pengertian ini sama dengan pembuatan keputusan birokrasi (bureaucratic  decision making).
·         Birokrasi sering digunakan dari berbagai kesempatan dan jelas setelah dilihat dari konteknya.

            Birokrasi menurut Weber diartikan sebagai birokrasi yang ideal (ideal type of organization). Yang menpunyai cirri-ciri sbb:
·         Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggungjawab yang didifinisikan dengan jelas
·         Diorganisasikan secara hierarki atau adanya komando
·         Pejabat manajerial dipilih dengan kualifikasi teknis yang ditentukan oleh pendidikan dan ujian
·         Peraturan dan pengaturan dibuat mengarah kepada pelaksanaan pekerjaan
·         Hubungan antara menejer dengan bawahan atau antar pegawai bersifat impersonal
·         pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan gaji yang tepat.
            Pembagian pekerjaan dibagi kepada orang-orang yang berada dalam organisasi , deangan prisip The right man on the right place Job.  Pekerjaan dikerjakan oleh orang-orang yang tepat sesuai dengan kecakapan, pendidikan, dan pengalaman yang dimiliki.

                           
No.
Ciri birokrasi                          
Fungsi   
Disfungsi
1.
Pembagian kerja                    
Keahlian
Rasa bosan
2.
Orientasi Impersonal              
Rasionalitas
Mengurangi moralitas
3.
Hierarki wewenang                
Disiplin, Patuh, Koordinasi
Menghalangi komunikasi
4.
Peraturan & Pengaturan
Uniformitas & Kontinyuitas
Kekakuan, Penggeseran tujuan
5.
Orientasi karier
Insentif, prestasi
Konflik senioritas & prestasi


            Walaupun birokrasi ala Weber banyak mendapat kritik disana-sini namun birokrasi Weber ini dapat dijadikan sebuah norma untuk menilai kinerja dari birokrasi tsb. Sebuah nilai yang ingin dicapai oleh Weber ini adalah suatu birokrasi yang ideal, birokrasi yang efisien organisasi.
            Dari Uraian di atas apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan maka birokrasi berkenaan dengan kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat dalam makna birokrasi yang demikian itu Yahya Muhaimin (1991) mengemukakan birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.







II.      Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
            Etika Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai perangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi  (Muhajir Darwin, 1999). Dengan demikian etika Administrasi negara (birokrasi publik) memiliki dua fungsi :
·         Sebagai pedoman, referensi bagi Administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakan dalam organisasi dapat dinilai baik, terpuji dan tidak tercela.
·         Etika Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai standar penilaian sifat, perilaku dan tidakan administrasi negara (birokrasi publik) di nilai baik, terpuji dan tidak tercela.
            Seperti telah dikemukakan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Bahwa etika merupakan cabang dari ilmu filsafat, nilai, dan moral. Etika bersifat abstrak dan mempersoalkan baik dan buruk, bukan mempersoalkan benar dan salah. Sedangkan birokrasi publik (administrasi negara) bersifat kongkrit dan harus mewujudkan apa yang harus di inginkan.(get the job done). Berdasarkan gambaran ini timbul masalah :
            Bagaimana menghubungkan antar birokrasi publik seperti ketertiban, efesiensi, kebijakan publik, kemanfaatan, produktivitas yang dapat menjelaskan etika dalam praktek.
Bagaimana gagasan-gagasan etika seperti mewujudkan baik dan minghidari yang buruk untuk menjelaskan hakekat administrasi publik (birokrasi publik).
            Pertanyaan berikutnya adalah apa yang menyebabkan berkembangnya kajian-kajian mengenai etika birokrasi publik muncul.  Menurut Nicholas Henry (1995) ada tiga faktor  yang menyebabkan konsep etika administrasi negara (birokrasi publik) menjadi berkembang.
Hilangnya dekotomi politik dan administrasi negara
            Tampilnya teori-teori pengambilan keputusan, ketika masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya, yaitu rationalitas, efesiensi.
            Berkembangnya pemikiran-pemikiran pembaruan yang disebutkan sebagai counter  cultur critiqu dalam kelompok Administrasi Negara Baru.



III.        Pentingnya  Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
            Etika yang menganalisis tentang moralitas, yang mempersoalkan tentang baik dan buruk bukan benar dan salah, tentang sikap tindakan dan perilaku manusia dalam hubangan dengan sesamanya dalam masyarakat, organisasi publik atau bisnis, maka etika memiliki peran yang penting dalam praktek administrasi negara (birokrasi publik).
            Dalam paradigma dekotomi politik dan administrasi seperti yang dijelaskan oleh Wilson di jelaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda (two distinct functions of government) yaitu  fungsi politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan publik sedang fungsi administrasi bekenaan dengan pelaksanaan kebijakan publik. Jadi kekuasaan membuat kebijakan publik ada dalam kekuasaan politik dan melaksanakan kebijakan ada dalam administrasi negara. Namun karena administrasi negara (birokrasi publik) dalam melaksanakan kebijakan publik, yakni keleluasaan untuk menafsirkan kebijakan politik dalam bentuk program, proyek maka timbul pertanyaan apakah dalam melaksanakan itu dapat dijamin bahwa itu dilaksanakan dengan baik dan benar. Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi publik). Etika dapat dijadikan pedoman, referensi dan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik. Disamping itu dapat dipakai ukuran nilai atau standar penilaian perilaku, apakah kebijakan itu dijalankan dengan baik.
            Administrasi negara (birokrasi publik) dipandang telah melenceng dari yang seharusnya (Applebei 1952). Administrasi negara (birokrasi publik) selalu dilihat sebagai masalah teknis, bukan dilihat masalah moral sehingga timbul dari berbagai persoalan dalam bekerjanya Administrasi negara (birokrasi publik) (Golembiewski, 1965). Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai organisai yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakat dengan ketiadaan nilai-nilai moral dan etika yang berpusat pada manusia (Hammel, 1987).
            Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi publik), bukan saja berfungsi sebagai pedoman, referensi dan penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugas, tetapi juga berfungsi sebagi standar dalam menilai apakah sifat dan perilaku serta tindakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.



IV.     Pendekatan Teori Etika dalam Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
Kita sudah berbicara berbagai teori etika seperti :
            Deontologi : suatu tidakan dikatakan baik bukan karana tujuan atau akaibatnya baik, tetapi karena kewajiban yang memang tidakan itu harus dilakukan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tidakan itu baik atau buruk. Lalu bagaimana administrasi publik (birokrasi publik) dalam melaksanakan tugasnya dilakukan berdasarkan kewajiban yang di embannya. Dengan demikian tugas-tugas dapat dilakukan dengan penuh tanggung jawab, tidaksekedar main-main. 
            Fox (1994), antara lain mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontologi dalam etika administrasi ini.
            Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembangnya “Administrasi Negara Baru” (antara lain Frederickson dan Hart, 1985). Menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (social equity). Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik, memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, administrasi haruslah membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi. Pandangan ini, cukup berkembang, meskipun di dunia akademik banyak juga pengeritiknya.
           Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan ini              terutama bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika administrasi negara harus mengacu kepada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk kepada konstitusi, yang harus menjadi landasan etika para administrasi di negara itu.
            Ketiga, tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain Denhardt,
1988, 1991). Pandangan ini berpendapat bahwa ada nilai-nilai moral yang bersifat universal yang harus menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalahnya di sini ada lah nilai-nilai moral itu sendiri banyak yang dipertanyakan karena beragamnya sumbernya dan juga kebudayaan serta peradaban. (Ginanjar Kartasasmita).

            Teleologi : suatu tindakan dikatakan baik apabila memiliki tujuan dan akibatnya baik. Didalam administrasi publik (birokrasi publik) harus dapat menghasilkan dampak yang baik terhadap seluruh masyarakat. Dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh wrgam masyrakat. Seluruh tindakan yang dilakukan memiliki dampak yang baik. Dengan pendekatan yang pertama adalah apa yang disebut ethical egoism, yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang amat dikenal di sini adalah Niccolo Macheavelli, seorang birokrat Itali (Florensia) pada abad ke -15, yang menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar bagi seorang administrator pemerintah. Namun demikia menurut Khan kedalam melakukan tindakan harus dibarengi dengan niat baik.

V. Prisip Nilai Etika Administrasi Negara (Birokrsi Publik)
            Disamping prinsip-prinsip dasar etika terdapat seperangkat nilai yang digunakan dalam pengukuran administrasi negara (birokrasi Publik), apakah perilaku atau perbuatan administrasi negara (birokrasi Publik) dapat dikatakan baik atau buruk, terpuji atau tercela adalah :
1.      Efesiensi : yang artinya tidak boros.sikap perilaku dan perbuatannya administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan baik apabila efesiien atau tdak boras, artinya dalam penggunaan dana-dana publik atau penggunaan ressources secara efesien dengan hasil yang optimal. Ressources yang dimiliki atau yang disediakan tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas, apalagi untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian nilai efesiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber dana dan sumberdaya yang tepat, tidak boros, dan dapat dipertanggung jawabkan.
2.      Nilai yang membedakan milik pribadi dengan milik dinas. administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah administrasi negara (birokrasi Publik) yang dapat membedakan mana milik pribadi dan mana milik negara /dinas. Artinya mereka tidak akan menggunakan barang milik negara/dinas untuk kepentingan pribadi. Mereka hanya akan menggunakan barang-barang milik negara untuk kepantingan publik/negara
3.      Nilai Responsibel berkaitan dengan tanggungjawab administrasi negara (birokrasi Publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah administrasi negara (birokrasi Publik) yang responsibel. Menurut Carl J. Friedrich merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi tehnik yang dimiliki administrator dalam menjalankan tugasnya. administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan responsibel jika pelakunya memiliki standar profesionalisme atau kompetensi tehnik yang tinggi. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap sikap dan perilaku administrasi negara (birokrasi Publik) harus memiliki standar penilaian tersendiri yang sifatnya administratif atau teknis dan bukan politis. Administrasi negara (birokrasi Publik) harus memiliki rasa tanggungjawab, dengan rasa tanggungjawab mereka akan melaksanakan tugas yang diembanya dengan sepenuh hati. Mereka tidak melakukan korup kendati mereka ada pada lingkungan yang korup. Bahkan mereka ingin merubah lingkungannya dan sistemnya untuk menjadi lebih baik, walaupun ada resiko terhadap dirinya.
4.  Nilai akuntabilitas ; Administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah yang akuntabel. Menurut Harry Hatry akuntabel adalah merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur apakah dana publik atau ressources yang ada sudah digunakan dengan tepat guna untuk tujuan yang telah ditetapkan, tidak digunakan untuk yang lain. Sedangkan menurut Herman Finner, akuntabilitas suatu konsep berkenaan dengan dengan standar eksternal yang menentukan suatu tindakan administrasi negara (birokrasi Publik). Akuntabilitas dimulai dari orang atau institusi yang berasal dari luar dirinya, yang sering disebut tanggungjawab yang bersifat obyektif. Administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan akuntabel jika mereka di nilai obyektif oleh orang atau masyarakat atau yang mewakili dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, sikap dan sepak terjangnya darimana wewenang dan kekuasaannya itu diperoleh. Politisi harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada kelompok pemilihnya, Eksekutif harus mempertanggungjawabkan implementasi kebijakan yang dilakukan kepada legislatif. Yang akhirnya baik eksekutif dan legislatif harus mempertanggungjawabkan kepada rakyatnya.
5.   Nilai responsivitas ; yang berkaitan dengan daya tanggap untuk menanggapi yang menjadi keluahan, masalah dan aspirasi publik. Administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan baik apabila administrasi negara (birokrasi Publik) responsif yaitu memiliki daya tanggap yang tinggi dan cepat terhadap apa yang menjadi keluhan, masalah, aspirasi publik dalam membarikan pelayanan publik. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik,dan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya. Ia dapat menangkap aspirasi masyarakat atau masalah yang dihadapi dan berusaha untuk mencari solusinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan atau mengutamakan prosedure tetapi mengabaikan subtansinya. 
6.  Nilai impersonal ; Administrasi negara (birokrasi Publik) dakatakan baik apabila dalam melaksakan hubungan dengan sesama atau antar bagian dalam birokrasi bersifat impersonal artinya dalam melakukan komunikasi bersifat formal, tidak ada hubungan yang bersifat pribadi. Hubungan pribadi hanya dapat dilakukan dilur dinas. Hubungan pribadi harus dihidari agar dalam memberikan pelayanan tidak terjadi penonjolan unsur pribadi dari pada unsur ratio yang menyebabkan ketidak adilan.
7.      Nilai merit system ;  Administrasi negara (birokrasi Publik) dakatakan baik apabila dalam penerimaan atau promosi pegawai tidak dilaksanakan berdasarkan kekerabatan, patrimonial, akan tetapi didasarkan atas pengetahuan, ketrampilan kemampuan dan pengalaman yang oleh orang yang bersangkutan. Dengan dianutnya nilai ini maka akan menjadikan orang-orang yang melaksanakan kebijakan akan menjadi profesional, yang diharapkan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat menjadi lebih baik.   


Daftar Pustaka

Ati, Ayuning Mustika. 2010. Etika Birokrasi dalam Administrasi Publik. (online), http://www.scribd.com/feeds/rss. diakses 23 Maret 2012.
Haryanto. 2002. Kuliah Birokrasi Indonesia. Politik Lokal Otonomi Daerah. Jogjakarta : Program Pascasarjana UGM.
Indrawanto. 2004. Teori Administrasi Piublik dan Birokrasi. Malang : Taroda

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Etika Birokrasi dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi. Yogyakarta. www.ginandjar.com