Jumat, 15 Mei 2015

Penguasaan dan Modal Asing di Indonesia

Penguasaan & Modal Asing di Indonesia

1. Penguasaan investasi asing di indonesia
khususnya industri ektrakstif telah di mulai sejak tahun 1967 saat Freeport masuk dan mencengkeram kekayaan alam indonesia , khususnya di tanah papua. Alih-alih memperoleh kesejahteraan, selama 45 tahun rakyat Papua justru mengalami konflik, bencana lingkungan, kemiskinan, dan penderitaan. Pengalaman ini sudah cukup memberikan bukti bahwa perusahaan industri ekstraktif skala raksasa seperti Freeport harus ditolak keberadaannya di Kalimantan Tengah.
Selama ini orientasi kebijakan pemerintah yang pro pasar dan investasi adalah ancaman utama terhadap sumber-sumber penghidupan rakyat Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah. Sumber daya alam diserahkan pada investasi yang monopolistik serta tidak menghargai kearifan lokal dan peran serta masyarakat. Sebaliknya, justru memunculkan penggusuran terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal, kerusakan lingkungan serta bencana ekologi yang berujung pada ancaman atas keselamatan rakyat.
Saat ini ancaman terhadap sumber daya alam dan sumber-sumber penghidupan rakyat di kalimantan semakin nyata dengan masuknya perusahaan tambang multi nasional PT. Freeport Mc Moran. Ltd di Kalimantan tengah yang melakukan kongsi dengan perusahaan PT. Kalimantan Surya Kencana seluas 120.900 ha dengan ijin kontrak karya (KK) di dua Kabupaten Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Kabupaten Gunung Mas, Katingan dan Murung Raya).
PT KSK adalah anak perusahaan Kalimantan Gold Corporation. Ltd yang sudah melakukan kongsi dengan Freeport Mc Moran-Exploration.Ltd yang akan menguasai 75 % saham setelah menginvestasikan US$7 juta. Di Kalimantan Timur mereka juga sedang melakukan akivitas untuk tambang PT. Jelai Cahaya Mineral ( http://www.kalimantan.com/s/Jelai.asp)
Di Kalimantan Tengah, perusahaan ini sudah mulai melakukan eksplorasi pada tanggal 23 Mei 2012, dimana mereka sudah melakukan pemboran di titik Beruang Tengah di wilayah proyek KSK, Kalimantan Tengah yang di rilis manajemen Kalimantan Gold kepada investor di Bursa Efek Toronto pada tanggal 29 Mei 2012.
Jelas eksplorasi ini akan mengancam keberadaan masyarakat dan lingkungan. Ancaman ini bisa dilihat dari segi penyelamatan lingkungan dan ekologi di kalimantan tengah bahwa wilayah yang menjadi lokasi konsensi PT. KSK berada di wilayah hulu dan merupakan wilayah “cathment area” (tangkapan air) yang merupakan sumber hidrologi beberapa sungai besar di kalimantan dan wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Di prediksikan apablia wilayah ini di eksploitasi dengan menggunakan metode “open peat mining” (tambang terbuka) maka ancaman kerusakan lingkungan dan bencana ekologi seperti pencemaran, banjir dan kekeringan akan terjadi di kalimantan yang mempengaruhi keselamatan penduduk yang banyak hidup di sekitar bantaran sungai-sungai seperti Barito, kapuas, kahayan dan katingan mahakam dan kapuas (kalbar).
Terkait dengan hak tersebut, kami menuntut kepada penyelenggara negara khususnya Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Daerah Prop. Kalimantan Tengah & Kalimantan Barat untuk melindungi hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di bumi kalimantan dengan memastikan keselamatan rakyat sesuai dengan mandat konstitusi dasar negara.

Sekarang, setelah 14 tahun reformasi bergulir, keadaannya tidak banyak berubah. Kemakmuran tetap hanya dinikmati oleh segelintir orang. Tahun 2012 lalu, majalah Forbes melangsir kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia. Total kekayaan 40 orang terkaya itu mencapai Rp 800 triliun atau separuh dari APBN kita.

Menurut hitungan Perkumpulan Prakarsa, kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Sementara kekayaan 43 ribu orang terkaya di Indonesia setara akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang.

Anggota DPR Budiman Sudjatmiko, yang mengutip data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengungkapkan bahwa Konsentrasi kepemilikan aset juga meningkat: 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset di tanah air. Artinya, aset nasional bangsa ini hanya dikangkangi oleh 440 ribu orang.

Kenyataan itu diperkuat oleh fakta indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia yang terus meningkat: dari 0,50 (1983) menjadi 0,72 (2003). Ketimpangan kepemilikan aset itu kemudian berimbas pula pada ketimpangan pendapatan. Gini Rasio, yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan, juga meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir: dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011).

Akan tetapi, penguasa utama ekonomi Indonesia adalah kapital asing. Merekalah yang sekarang ini menggenggam hampir seluruh sumber daya alam dan sektor-sektor produksi strategis. Akibatnya, kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat pesat, yakni 6,5%, tetapi sebagian besar mengalir keluar.

Dominasi modal asing ini sangat besar. Sebagai contoh, sekalipun kita punya kekayaan gas, tetapi hasil produksinya hanya dikontrol 6 perusahaan asing. Akibatnya, gas tersebut tidak digunakan untuk melayani kebutuhan dalam negeri, seperti menopang industri pupuk, listrik (PLN), dan lain-lain, melainkan diekspor keluar untuk menghasilkan profit bagi korporasi asing.

Saking berkuasanya, kapital asing bisa membeli hukum Indonesia untuk melegalkan praktek eksploitasinya. Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM), Revrisond Baswir, menyebut praktek ini sebagai bentuk “legalisasi kolonialisme”. Lebih jauh lagi, kekuatan kapital asing ini, melalui IMF, Bank Dunia, dan WTO, bisa menentukan kebijakan ekonomi-politik Indonesia.

Pada abad ke-18, Adam Smith sudah bilang, “mereka yang akan menguasai masyarakat dan membuat kebijakan: pedagang dan produsen. Kekuatan pedagang dan produsen itu telah menjelma dalam lembaga keuangan internasional dan korporasi multinasional.

Memang, teorinya sudah mengajarkan, “siapa yang mengontrol ekonomi dengan sendirinya akan mengontrol politik, hukum, sosial, dan budaya.” Lihat saja, ketika kekuatan pemilik modal butuh tanah, dengan gampangnya petani dan masyarakat diusir. Kekuatan pemilik modal juga sanggup membeli aparatus keamanan, termasuk Polisi dan TNI, untuk mengusir kaum tani dari tanah-tanahnya.

Juga, supaya keuntungan bagi kapitalis itu mengalir deras, negara merestui praktek upah murah, sistem kerja kontrak, dan outsourcing. Bahkan, supaya investor tetap betah menanamkan modalnya di Indonesia, pemerintah siap memberikan jamanan keamanan. Hak rakyat untuk berserikat dan menggelar protes pun pelan-pelan diberangus.

Negara Indonesia sekarang bukan lagi “negara buat semua”. Negara Indonesia saat ini, berikut aparatus idelogis dan represifnya, dikendalikan oleh segelintir orang, yakni pemilik modal. Mereka dengan gampangnya menggunakan hukum untuk menjerat rakyat. Namun, ketika giliran mereka yang melanggar hukum, tak ada yang bisa menjeratnya.

Pengelolaan energi menuai polemik yang mengarah pada liberalisasi Migas, terlebih saat Ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia (API) Elisabeth Proust menyatakan ada salah persepsi dari publik bahwa industri migas didominasi perusahaan asing sehingga tidak menghasilkan banyak manfaat bagi bangsa Indonesia. (kompas.com, 6/12).

Bila dikaji, ini malah bertolak belakang dengan data yang dikeluarkan oleh BP Migas 2011 dan fakta di lapangan  penguasaan  energi/migas banyak perusahaan asing ikut andil dalam kebijakan dan pengelolaan teknis energi. Di antaranya pengelolaan Cepu dimenangi Exon Mobil daripada Pertamina, dan kenaikan BBM hampir setiap tahun dari rezim kepemimpinan pasca reformasi.

Ini refleksi pengelolaan Migas yang kacau balau. Bubarnya BP Migas salah satu contoh dari carut-marutnya pengelolaan migas. BP Migas dibentuk untuk menjalankan amanat UU Migas No. 22 tahun 2001. Selain pembubaran BP Migas juga ada persoalan lain yang pelik terkait pengelolaan Migas. Persoalan itu antara lain terkait barganing position pemerintah untuk menguasai seluruh sektor Migas Indonesia.

Pemerintah seolah terjebak pada dilema antara formulasi B to G atau B to B. Saat ini sekitar 80% ladang Migas di Indonesia dikuasai asing. Asing dalam hal ini berbentuk multi national corporation (MNC) atau pun negara. Sehingga bisnis dan kekuasaan begitu kental dalam pengelolaan migas.

Adapun tulisan ini menguraikan kesalahan pernyataan ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia (API) bahwa pengelolaan energi Indonesia bermanfaat bagi rakyat.



Faktor Normatif
Ada beberapa dasar kebijakan negara  yang memperkuat adanya liberalisasi sektor Migas.
Pertama, UU Migas No. 22 tahun 2001 menjamin  efektivitas  pelaksanaan  dan  pengendalian  usaha  Pengolahan,  Pengangkutan, Penyimpanan,   dan   Niaga   secara   akuntabel   yang   diselenggarakan   melalui   mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan(Pasal 2). “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Uaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta (Pasal 9).”
Kedua, PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero.  Tujuan utama persero adalah mendapatkan keuntungan (Pasal 2) dan keputusan tertinggi ada pada RUPS.  (Tahun 2011 anak Perusahaan Pertamina PT Pertamina Hulu Energi direncanakan akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di Bursa Saham).
Ketiga, Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: “Penetapan   kebijakan   harga   energi   ke   arah   harga keekonomian,     dengan     tetap     mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”
Keempat, Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional .
Kelima, adapun pembubaran BP Migas merupakan masalah cabang dari masalah pokok berupa liberalisasi pengelolaan energi. Keputusan MK atas uji materiil UU No 22 tahun 2001 oleh beberapa Ormas dan tokoh yang menghasilkan keputusan BP Migas bubar menyisakan beberapa pertanyaan besar dari berbagai kalangan.
BP Migas bubar, sudahkah kedaulatan energi  negeri ini terwujud ? Apakah BP Migas bubar wujud dari usainya liberalisasi Migas ? Apakah esensi sebenarnya keputusan MK? Menjawab beberapa pertanyaan di atas faktanya walaupun pemerintah telah membubarkan BP Migas tetap saja pengelolaan energi masih dikuasai oleh swasta terutama asing.
Faktor Ekonomi
Peran asing dalam megelola energi mengalami defisit perdagangan minyak dari tahun ke tahun. Defisit perdagangan minyak meningkat empat kali lipat dari USD 4,02 miliar pada 2009 menjadi USD18,93 miliar di 2011. Defisit neraca perdagangan minyak Indonesia tahun 2012  naik sekitar 10% dibandingkan tahun lalu yang sebesar US$ 18,93 miliar.
Defisit neraca perdagangan minyak Indonesia akan terus bertambah selama masih menjadi importer minyak. Defisit neraca perdagangan minyak akan bertambah jika konsumsi bahan bakar minyak terus bertambah dan tidak ada peningkatan produksi dalam negeri. Setiap pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%, konsumsi bahan bakar akan naik setidaknya 10%.
Defisit neraca minyak Indonesia akan lebih besar jika terjadi gejolak harga minyak di pasar internasional. Data Kementerian ESDM 2010 menunjukkan bahwa minyak bumi masih merupakan sumber energi terbesar dengan 46,9 persen disusul batu bara (26,4 persen) dan gas (21,3 persen).
Mewujudkan Perpres 5/2006 membutuhkan peningkatan signifikan produksi gas. Peningkatan terbesar terjadi pada bahan bakar mineral US$ 254,2 juta. Sementara untuk ekspor migas naik 7,87 persen dari US$ 2,770 juta pada September 2012 menjadi US$ 2,988 juta pada Oktober 2012.
Pola perdagangan gas cukup menarik dengan ekspor meningkat dua kali lipat dari USD9,8 miliar pada 2009 menjadi USD18 miliar pada 2011, tapi impor gas meningkat empat kali lipat dari USD438 juta menjadi USD1,62 miliar pada periode yang sama. Lalu, bagaimana cara menguatkan ketahanan dan daya saing sektor energi Indonesia? Penguatan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai perusahaan dan minyak dan gas nasional.
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang melemahkan Pertamina dan PGN perlu dikaji ulang. Tentunya semua kebijakan tersebut perlu disertai dengan peningkatan efisiensi di Pertamina dan PGN serta pengawasan ketat terhadap korupsi. Berdasarkan data BP Migas menunjukkan bahwa dari hampir 10 ribu BBTUD yang diproduksi Indonesia, hampir setengahnya sudah terikat kontrak untuk diekspor dengan tujuan utama ke Jepang (67 persen), Korea Selatan (16 persen), Taiwan (14 persen), dan China (2,7 persen).
Faktor Politik
Tingginya harga BBM dan gas di Indonesia, jika ditelusuri lebih dalam maka akan ditemukan akar masalahnya yakni amburadulnya kebijakan energi primer (BBM dan Gas) dan sekunder (PLN) di Indonesia.
Problem kelangkaan BBM diakibatkan oleh rusaknya sistem yang digunakan oleh pemerintah. Ujungnya adalah diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gasbumi yang sangat liberal. Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan MIGAS.
Sebab dalam UU ini pemerintah pertama, membuka peluang pengelolaan Migas karena BUMN Migas Nasional di privatisasi. Kedua, pemerintah justru memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domistik melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak.
Ketiga, perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri.  Padahal, di Indonesia dengan 60 kontraktor Migas yang ada terkatagori kedalam 3 kelompok, (1) Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco ternyata menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80% Indonesia. (2) Major yang terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Dan (3) Perusahaan independen menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.
Walhasil, kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multi nasional asing dan berwatak kapitalis tulen. Wajar jika negeri berlimpah ruah akan minyak dan gas ini ’meradang’ tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual keluar negeri oleh perusahaan asing tersebut.
ExxonMobil merupakan perusahaan migas Amerika Serikat yang memimpin di hampir setiap aspek bisnis energi dan petrokimia. Produk ExxonMobil dipasarkan di hampir seluruh negara di dunia, dan dalam mengeksplorasi sumber daya migas, Exxon Mobil beroperasi hingga di enam benua.Di Indonesia, ExxonMobil telah beroperasi selama lebih dari 100 tahun, dengan tambang migasnya yang menyebar dari ujung Barat Indonesia di Aceh hingga ujung Timur di Papua.

Kepemilikan tambang migas ExxonMobil ini merupakan yang terbanyak di Indonesia, jauh melebihi Pertamina. Contohnya adalah penerbitan PP No.34/2005 yang mana PP ini memberi pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok Kontrak Kerjasama yang terdapat dalam PP No.35/2004. Tujuannya, untuk memberi landasan hukum bagi ExxonMobil dalam memperoleh kontrak selama 30 tahun. Dengan penguasaan ExxonMobil yang besar tesebut, maka diperkirakan dapat terjadi kecurangan-kecurangan seperti anggaran cost recovery, biaya eksploitasi, data cadangan migas sebenarnya, hingga manfaat bagi penduduk sekitar.
Ternyata, dominasi asing dalam usahanya mengeruk dan menguras habis sumberdaya alam kita bukan disebabkan kinerja mereka sendiri, tetapi karena kekuasaan dan kewenangan besar yang dihambakan oleh pemerintah kepada mereka.
Produksi minyak bumi Indonesia yang dimulai sejak jaman Belanda dan dieksploitasi secara besar-besaran, serta konsumsi rakyat terhadap BBM yang setiap tahun semakin tinggi, menyebabkan Indonesia sejak tahun 2003 sudah tidak dapat mengekspor minyaknya lagi. Bahkan sejak tahun 2004,
Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara produsen minyak dunia dan merupakan anggota OPEC, telah menjadi negara pengimpor minyak, yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Kondisi ini semakin diperparah ketika Pemerintahan SBY yang baru naik pada waktu itu langsung membuat kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 126% pada tahun 2005, dengan alasan untuk menyesuaikan terhadap harga minyak dunia.
Padahal minyak yang diimpor setiap tahunnya hanya sebesar 10 persen dari total kebutuhan BBM Indonesia, sedangkan 90 persen lagi, dapat dihasilkan dari bumi Indonesia sendiri. Semakin naiknya harga minyak dunia setiap tahun, membuat subsidi pemerintah terhadap harga BBM semakin besar.
Terhadap situasi ini pemerintahan SBY kembali membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dengan rencana akan membatasi BBM bersubsidi pada April 2012. Sehingga rakyat dipaksa untuk dan mengalihkan konsumsi BBMnya kepada BBM yang sesuai dengan harga pasar dunia. Kebijakkan ini memang secara langsung tidak menaikkan harga BBM, tapi dampaknya justru lebih parah karena BBM yang tidak bersubsidi, fluktuasi harganya selalu tidak dapat diduga.
Menghadapi masalah BBM yang setiap tahun semakin menyulitkan ini, solusi yang diberikan pemerintah melalui BP Migas justru meminta kepada Chevron sebagai produsen minyak terbesar di Indonesia, dan seluruh perusahaan minyak asing dan dalam negeri yang beroperasi di Indonesia, agar memaksimalkan produksinya.
Ini jelas membuktikan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan minyak asing yang menguasai 90 persen produksi minyak Indonesia, telah menciptakan ketergantungan kebutuhan BBM bangsa ini kepada mereka. Sehingga membuat pemerintah harus memohon kepada perusahaan-perusahaan asing tersebut untuk dapat memenuhi keperluan BBM negeri ini, dan rakyat harus membeli BBM dari bumi mereka sendiri dengan harga pasaran dunia kepada asing.
Di masa depan tampaknya rakyat akan semakin terus kesulitan untuk memenuhi kebutuhan BBM ini, karena ketika pimpinan Chevron Corporation dari kantor pusat Amerika Serikat menemui Wakil Presiden Boediono pada September 2011 lalu, CEO Chevron John. S Watson memberikan keterangan bahwa, “Saya mengatakan pada Wakil Presiden bahwa saya berharap Chevron akan berada di sini (Indonesia) 85 tahun lagi, karena kami memiliki banyak peluang investasi di negeri ini.”
Berdasarakan telaah pendekatan normatif, ekonomi dan politik di atas tentu tidak benar kalau API mengatakan pengelolaan energi oleh asing bermanfaat bagi rakyat. Karena yang terjadi adalah menyengsarakan, rakyat harus membayar mahal Migas yang notabene milikinya sendiri kepada asing.




Penguasaan Asing Terhadap Ekonomi Indonesia

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra menilai Indonesia adalah surga bagi investor pertambangan asing. Kilau emas kuning dan hitam (migas) sangat menarik perhatian pengusaha tambang asing untuk mengeruknya dari bumi Indonesia.

"Penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang di kelola Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok dioperasikan perusahaan nasional serta sekira 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan nasional," ungkap Yusra, dalam seminar Menegakan Kedaulatan Energi Nasional, di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (20/2/2013).

Yusra menambahkan, pemerintah menargetkan di 2025 porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen. "Saat ini porsi nasional hanya 25 persen, sementara 75 persen dikuasai asing," tambahnya.

Dia menjelaskan, dominasi asing di sektor pertambangan itu dinilai kian mengkhawatirkan bahkan telah mengancam kedaulatan perekenomian Indonesia karena menjadikan pertambangan sebagai komoditas yang tidak memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan rakyat.


"Apalagi 75 persen kuasa pertambangan telah dikuasai asing. Besarnya dominasi asing disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terlalu membuka lebar pintu investasi bagi investor asing di sektor strategis," jelas dia.

3 komentar:

  1. Kabar baik untuk semua pelanggan terhormat kami, kami di JUDITH FRANKLIN PINJAMAN PERUSAHAAN tawaran pinjaman dari 2% bunga, tetapi saat ini kami menawarkan pinjaman dari 1,5% bunga karena akhir kami dari bonanza tahun. Anda datang pada waktu yang tepat, kami mendesak Anda bahwa jika Anda mengikuti instruksi dan direktif kami, Anda akan bisa mendapatkan pinjaman Anda dalam waktu 24 jam setelah aplikasi. hubungi kami melalui judithfranklinloanfirm@gmail.com.
    Terima kasih Untuk Binaan Anda.

    BalasHapus
  2. Kabar baik untuk semua pelanggan terhormat kami, kami di JUDITH FRANKLIN PINJAMAN PERUSAHAAN tawaran pinjaman dari 2% bunga, tetapi saat ini kami menawarkan pinjaman dari 1,5% bunga karena akhir kami dari bonanza tahun. Anda datang pada waktu yang tepat, kami mendesak Anda bahwa jika Anda mengikuti instruksi dan direktif kami, Anda akan bisa mendapatkan pinjaman Anda dalam waktu 24 jam setelah aplikasi. hubungi kami melalui judithfranklinloanfirm@gmail.com.
    Terima kasih Untuk Binaan Anda.

    BalasHapus