Penguasaan
& Modal Asing di Indonesia
1.
Penguasaan investasi asing di indonesia
khususnya
industri ektrakstif telah di mulai sejak tahun 1967 saat Freeport masuk dan
mencengkeram kekayaan alam indonesia , khususnya di tanah papua. Alih-alih
memperoleh kesejahteraan, selama 45 tahun rakyat Papua justru mengalami
konflik, bencana lingkungan, kemiskinan, dan penderitaan. Pengalaman ini sudah
cukup memberikan bukti bahwa perusahaan industri ekstraktif skala raksasa
seperti Freeport harus ditolak keberadaannya di Kalimantan Tengah.
Selama
ini orientasi kebijakan pemerintah yang pro pasar dan investasi adalah ancaman
utama terhadap sumber-sumber penghidupan rakyat Kalimantan, khususnya
Kalimantan Tengah. Sumber daya alam diserahkan pada investasi yang monopolistik
serta tidak menghargai kearifan lokal dan peran serta masyarakat. Sebaliknya,
justru memunculkan penggusuran terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal,
kerusakan lingkungan serta bencana ekologi yang berujung pada ancaman atas
keselamatan rakyat.
Saat
ini ancaman terhadap sumber daya alam dan sumber-sumber penghidupan rakyat di
kalimantan semakin nyata dengan masuknya perusahaan tambang multi nasional PT.
Freeport Mc Moran. Ltd di Kalimantan tengah yang melakukan kongsi dengan
perusahaan PT. Kalimantan Surya Kencana seluas 120.900 ha dengan ijin kontrak
karya (KK) di dua Kabupaten Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Kabupaten
Gunung Mas, Katingan dan Murung Raya).
PT
KSK adalah anak perusahaan Kalimantan Gold Corporation. Ltd yang sudah
melakukan kongsi dengan Freeport Mc Moran-Exploration.Ltd yang akan menguasai
75 % saham setelah menginvestasikan US$7 juta. Di Kalimantan Timur mereka juga
sedang melakukan akivitas untuk tambang PT. Jelai Cahaya Mineral (
http://www.kalimantan.com/s/Jelai.asp)
Di
Kalimantan Tengah, perusahaan ini sudah mulai melakukan eksplorasi pada tanggal
23 Mei 2012, dimana mereka sudah melakukan pemboran di titik Beruang Tengah di
wilayah proyek KSK, Kalimantan Tengah yang di rilis manajemen Kalimantan Gold
kepada investor di Bursa Efek Toronto pada tanggal 29 Mei 2012.
Jelas
eksplorasi ini akan mengancam keberadaan masyarakat dan lingkungan. Ancaman ini
bisa dilihat dari segi penyelamatan lingkungan dan ekologi di kalimantan tengah
bahwa wilayah yang menjadi lokasi konsensi PT. KSK berada di wilayah hulu dan
merupakan wilayah “cathment area” (tangkapan air) yang merupakan sumber
hidrologi beberapa sungai besar di kalimantan dan wilayah yang kaya akan
keanekaragaman hayati.
Di
prediksikan apablia wilayah ini di eksploitasi dengan menggunakan metode “open
peat mining” (tambang terbuka) maka ancaman kerusakan lingkungan dan bencana
ekologi seperti pencemaran, banjir dan kekeringan akan terjadi di kalimantan
yang mempengaruhi keselamatan penduduk yang banyak hidup di sekitar bantaran sungai-sungai
seperti Barito, kapuas, kahayan dan katingan mahakam dan kapuas (kalbar).
Terkait
dengan hak tersebut, kami menuntut kepada penyelenggara negara khususnya
Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Daerah Prop. Kalimantan Tengah &
Kalimantan Barat untuk melindungi hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di
bumi kalimantan dengan memastikan keselamatan rakyat sesuai dengan mandat
konstitusi dasar negara.
Sekarang,
setelah 14 tahun reformasi bergulir, keadaannya tidak banyak berubah.
Kemakmuran tetap hanya dinikmati oleh segelintir orang. Tahun 2012 lalu,
majalah Forbes melangsir kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia. Total kekayaan
40 orang terkaya itu mencapai Rp 800 triliun atau separuh dari APBN kita.
Menurut
hitungan Perkumpulan Prakarsa, kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan 15
juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Sementara kekayaan 43 ribu orang
terkaya di Indonesia setara akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta
orang.
Anggota
DPR Budiman Sudjatmiko, yang mengutip data dari Badan Pertanahan Nasional
(BPN), mengungkapkan bahwa Konsentrasi kepemilikan aset juga meningkat: 0,2
persen penduduk menguasai 56 persen aset di tanah air. Artinya, aset nasional
bangsa ini hanya dikangkangi oleh 440 ribu orang.
Kenyataan
itu diperkuat oleh fakta indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia yang terus
meningkat: dari 0,50 (1983) menjadi 0,72 (2003). Ketimpangan kepemilikan aset
itu kemudian berimbas pula pada ketimpangan pendapatan. Gini Rasio, yang
mengukur tingkat kesenjangan pendapatan, juga meningkat pesat dalam beberapa
tahun terakhir: dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011).
Akan
tetapi, penguasa utama ekonomi Indonesia adalah kapital asing. Merekalah yang
sekarang ini menggenggam hampir seluruh sumber daya alam dan sektor-sektor
produksi strategis. Akibatnya, kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat
pesat, yakni 6,5%, tetapi sebagian besar mengalir keluar.
Dominasi
modal asing ini sangat besar. Sebagai contoh, sekalipun kita punya kekayaan
gas, tetapi hasil produksinya hanya dikontrol 6 perusahaan asing. Akibatnya,
gas tersebut tidak digunakan untuk melayani kebutuhan dalam negeri, seperti
menopang industri pupuk, listrik (PLN), dan lain-lain, melainkan diekspor
keluar untuk menghasilkan profit bagi korporasi asing.
Saking
berkuasanya, kapital asing bisa membeli hukum Indonesia untuk melegalkan
praktek eksploitasinya. Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM), Revrisond
Baswir, menyebut praktek ini sebagai bentuk “legalisasi kolonialisme”. Lebih
jauh lagi, kekuatan kapital asing ini, melalui IMF, Bank Dunia, dan WTO, bisa
menentukan kebijakan ekonomi-politik Indonesia.
Pada
abad ke-18, Adam Smith sudah bilang, “mereka yang akan menguasai masyarakat dan
membuat kebijakan: pedagang dan produsen. Kekuatan pedagang dan produsen itu
telah menjelma dalam lembaga keuangan internasional dan korporasi
multinasional.
Memang,
teorinya sudah mengajarkan, “siapa yang mengontrol ekonomi dengan sendirinya
akan mengontrol politik, hukum, sosial, dan budaya.” Lihat saja, ketika
kekuatan pemilik modal butuh tanah, dengan gampangnya petani dan masyarakat
diusir. Kekuatan pemilik modal juga sanggup membeli aparatus keamanan, termasuk
Polisi dan TNI, untuk mengusir kaum tani dari tanah-tanahnya.
Juga,
supaya keuntungan bagi kapitalis itu mengalir deras, negara merestui praktek
upah murah, sistem kerja kontrak, dan outsourcing. Bahkan, supaya investor
tetap betah menanamkan modalnya di Indonesia, pemerintah siap memberikan
jamanan keamanan. Hak rakyat untuk berserikat dan menggelar protes pun pelan-pelan
diberangus.
Negara
Indonesia sekarang bukan lagi “negara buat semua”. Negara Indonesia saat ini,
berikut aparatus idelogis dan represifnya, dikendalikan oleh segelintir orang,
yakni pemilik modal. Mereka dengan gampangnya menggunakan hukum untuk menjerat
rakyat. Namun, ketika giliran mereka yang melanggar hukum, tak ada yang bisa
menjeratnya.
Pengelolaan
energi menuai polemik yang mengarah pada liberalisasi Migas, terlebih saat
Ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia (API) Elisabeth Proust menyatakan ada
salah persepsi dari publik bahwa industri migas didominasi perusahaan asing
sehingga tidak menghasilkan banyak manfaat bagi bangsa Indonesia. (kompas.com,
6/12).
Bila
dikaji, ini malah bertolak belakang dengan data yang dikeluarkan oleh BP Migas 2011
dan fakta di lapangan penguasaan energi/migas banyak perusahaan
asing ikut andil dalam kebijakan dan pengelolaan teknis energi. Di antaranya
pengelolaan Cepu dimenangi Exon Mobil daripada Pertamina, dan kenaikan BBM
hampir setiap tahun dari rezim kepemimpinan pasca reformasi.
Ini
refleksi pengelolaan Migas yang kacau balau. Bubarnya BP Migas salah satu
contoh dari carut-marutnya pengelolaan migas. BP Migas dibentuk untuk
menjalankan amanat UU Migas No. 22 tahun 2001. Selain pembubaran BP Migas juga ada
persoalan lain yang pelik terkait pengelolaan Migas. Persoalan itu antara lain
terkait barganing position pemerintah untuk menguasai seluruh sektor Migas
Indonesia.
Pemerintah
seolah terjebak pada dilema antara formulasi B to G atau B to B. Saat ini sekitar
80% ladang Migas di Indonesia dikuasai asing. Asing dalam hal ini berbentuk
multi national corporation (MNC) atau pun negara. Sehingga bisnis dan kekuasaan
begitu kental dalam pengelolaan migas.
Adapun
tulisan ini menguraikan kesalahan pernyataan ketua Asosiasi Perminyakan
Indonesia (API) bahwa pengelolaan energi Indonesia bermanfaat bagi rakyat.
Faktor
Normatif
Ada
beberapa dasar kebijakan negara yang memperkuat adanya liberalisasi
sektor Migas.
Pertama,
UU Migas No. 22 tahun 2001 menjamin efektivitas pelaksanaan
dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan, dan Niaga secara
akuntabel yang diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan(Pasal 2).
“Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 angka 1dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Uaha Milik Negara; Badan
Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta (Pasal 9).”
Kedua,
PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero.
Tujuan utama persero adalah mendapatkan keuntungan (Pasal 2) dan keputusan
tertinggi ada pada RUPS. (Tahun 2011 anak Perusahaan Pertamina PT
Pertamina Hulu Energi direncanakan akan melakukan Initial Public Offering [IPO]
di Bursa Saham).
Ketiga,
Perpres No. 5 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c:
“Penetapan kebijakan harga
energi ke arah harga
keekonomian, dengan
tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin
dalam jangka waktu tertentu.”
Keempat,
Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program
utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian
harga BBM dengan harga internasional .
Kelima,
adapun pembubaran BP Migas merupakan masalah cabang dari masalah pokok berupa
liberalisasi pengelolaan energi. Keputusan MK atas uji materiil UU No 22 tahun
2001 oleh beberapa Ormas dan tokoh yang menghasilkan keputusan BP Migas bubar
menyisakan beberapa pertanyaan besar dari berbagai kalangan.
BP
Migas bubar, sudahkah kedaulatan energi negeri ini terwujud ? Apakah BP
Migas bubar wujud dari usainya liberalisasi Migas ? Apakah esensi sebenarnya
keputusan MK? Menjawab beberapa pertanyaan di atas faktanya walaupun pemerintah
telah membubarkan BP Migas tetap saja pengelolaan energi masih dikuasai oleh
swasta terutama asing.
Faktor
Ekonomi
Peran
asing dalam megelola energi mengalami defisit perdagangan minyak dari tahun ke
tahun. Defisit perdagangan minyak meningkat empat kali lipat dari USD 4,02
miliar pada 2009 menjadi USD18,93 miliar di 2011. Defisit neraca perdagangan
minyak Indonesia tahun 2012 naik sekitar 10% dibandingkan tahun lalu yang
sebesar US$ 18,93 miliar.
Defisit
neraca perdagangan minyak Indonesia akan terus bertambah selama masih menjadi
importer minyak. Defisit neraca perdagangan minyak akan bertambah jika konsumsi
bahan bakar minyak terus bertambah dan tidak ada peningkatan produksi dalam
negeri. Setiap pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%, konsumsi bahan bakar akan naik
setidaknya 10%.
Defisit
neraca minyak Indonesia akan lebih besar jika terjadi gejolak harga minyak di
pasar internasional. Data Kementerian ESDM 2010 menunjukkan bahwa minyak bumi
masih merupakan sumber energi terbesar dengan 46,9 persen disusul batu bara
(26,4 persen) dan gas (21,3 persen).
Mewujudkan
Perpres 5/2006 membutuhkan peningkatan signifikan produksi gas. Peningkatan
terbesar terjadi pada bahan bakar mineral US$ 254,2 juta. Sementara untuk
ekspor migas naik 7,87 persen dari US$ 2,770 juta pada September 2012 menjadi
US$ 2,988 juta pada Oktober 2012.
Pola
perdagangan gas cukup menarik dengan ekspor meningkat dua kali lipat dari
USD9,8 miliar pada 2009 menjadi USD18 miliar pada 2011, tapi impor gas
meningkat empat kali lipat dari USD438 juta menjadi USD1,62 miliar pada periode
yang sama. Lalu, bagaimana cara menguatkan ketahanan dan daya saing sektor
energi Indonesia? Penguatan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai
perusahaan dan minyak dan gas nasional.
UU
22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang melemahkan Pertamina dan PGN perlu
dikaji ulang. Tentunya semua kebijakan tersebut perlu disertai dengan
peningkatan efisiensi di Pertamina dan PGN serta pengawasan ketat terhadap
korupsi. Berdasarkan data BP Migas menunjukkan bahwa dari hampir 10 ribu BBTUD
yang diproduksi Indonesia, hampir setengahnya sudah terikat kontrak untuk
diekspor dengan tujuan utama ke Jepang (67 persen), Korea Selatan (16 persen),
Taiwan (14 persen), dan China (2,7 persen).
Faktor
Politik
Tingginya
harga BBM dan gas di Indonesia, jika ditelusuri lebih dalam maka akan ditemukan
akar masalahnya yakni amburadulnya kebijakan energi primer (BBM dan Gas) dan
sekunder (PLN) di Indonesia.
Problem
kelangkaan BBM diakibatkan oleh rusaknya sistem yang digunakan oleh pemerintah.
Ujungnya adalah diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gasbumi yang sangat
liberal. Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan
MIGAS.
Sebab
dalam UU ini pemerintah pertama, membuka peluang pengelolaan Migas karena BUMN
Migas Nasional di privatisasi. Kedua, pemerintah justru memberikan kewenangan
kepada perusahaan asing maupun domistik melakukan eksplorasi dan eksploitasi
minyak.
Ketiga,
perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri.
Padahal, di Indonesia dengan 60 kontraktor Migas yang ada terkatagori
kedalam 3 kelompok, (1) Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina
Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco ternyata menguasai cadangan minyak 70% dan gas
80% Indonesia. (2) Major yang terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf,
Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah menguasai cadangan minyak 18% dan gas
15%. Dan (3) Perusahaan independen menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.
Walhasil,
kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh
asing. Mereka semua adalah perusahaan multi nasional asing dan berwatak
kapitalis tulen. Wajar jika negeri berlimpah ruah akan minyak dan gas ini
’meradang’ tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual
keluar negeri oleh perusahaan asing tersebut.
ExxonMobil
merupakan perusahaan migas Amerika Serikat yang memimpin di hampir setiap aspek
bisnis energi dan petrokimia. Produk ExxonMobil dipasarkan di hampir seluruh
negara di dunia, dan dalam mengeksplorasi sumber daya migas, Exxon Mobil
beroperasi hingga di enam benua.Di Indonesia, ExxonMobil telah beroperasi
selama lebih dari 100 tahun, dengan tambang migasnya yang menyebar dari ujung
Barat Indonesia di Aceh hingga ujung Timur di Papua.
Kepemilikan
tambang migas ExxonMobil ini merupakan yang terbanyak di Indonesia, jauh
melebihi Pertamina. Contohnya adalah penerbitan PP No.34/2005 yang mana PP ini
memberi pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok Kontrak Kerjasama yang
terdapat dalam PP No.35/2004. Tujuannya, untuk memberi landasan hukum bagi ExxonMobil
dalam memperoleh kontrak selama 30 tahun. Dengan penguasaan ExxonMobil yang
besar tesebut, maka diperkirakan dapat terjadi kecurangan-kecurangan seperti
anggaran cost recovery, biaya eksploitasi, data cadangan migas sebenarnya,
hingga manfaat bagi penduduk sekitar.
Ternyata,
dominasi asing dalam usahanya mengeruk dan menguras habis sumberdaya alam kita
bukan disebabkan kinerja mereka sendiri, tetapi karena kekuasaan dan kewenangan
besar yang dihambakan oleh pemerintah kepada mereka.
Produksi
minyak bumi Indonesia yang dimulai sejak jaman Belanda dan dieksploitasi secara
besar-besaran, serta konsumsi rakyat terhadap BBM yang setiap tahun semakin
tinggi, menyebabkan Indonesia sejak tahun 2003 sudah tidak dapat mengekspor
minyaknya lagi. Bahkan sejak tahun 2004,
Indonesia
yang sebelumnya dikenal sebagai negara produsen minyak dunia dan merupakan
anggota OPEC, telah menjadi negara pengimpor minyak, yang jumlahnya semakin
meningkat setiap tahun. Kondisi ini semakin diperparah ketika Pemerintahan SBY
yang baru naik pada waktu itu langsung membuat kebijakan menaikkan harga BBM
sebesar 126% pada tahun 2005, dengan alasan untuk menyesuaikan terhadap harga
minyak dunia.
Padahal
minyak yang diimpor setiap tahunnya hanya sebesar 10 persen dari total
kebutuhan BBM Indonesia, sedangkan 90 persen lagi, dapat dihasilkan dari bumi
Indonesia sendiri. Semakin naiknya harga minyak dunia setiap tahun, membuat
subsidi pemerintah terhadap harga BBM semakin besar.
Terhadap
situasi ini pemerintahan SBY kembali membuat kebijakan yang tidak berpihak
kepada rakyat dengan rencana akan membatasi BBM bersubsidi pada April 2012.
Sehingga rakyat dipaksa untuk dan mengalihkan konsumsi BBMnya kepada BBM yang
sesuai dengan harga pasar dunia. Kebijakkan ini memang secara langsung tidak menaikkan
harga BBM, tapi dampaknya justru lebih parah karena BBM yang tidak bersubsidi,
fluktuasi harganya selalu tidak dapat diduga.
Menghadapi
masalah BBM yang setiap tahun semakin menyulitkan ini, solusi yang diberikan
pemerintah melalui BP Migas justru meminta kepada Chevron sebagai produsen
minyak terbesar di Indonesia, dan seluruh perusahaan minyak asing dan dalam
negeri yang beroperasi di Indonesia, agar memaksimalkan produksinya.
Ini
jelas membuktikan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan minyak asing yang
menguasai 90 persen produksi minyak Indonesia, telah menciptakan ketergantungan
kebutuhan BBM bangsa ini kepada mereka. Sehingga membuat pemerintah harus
memohon kepada perusahaan-perusahaan asing tersebut untuk dapat memenuhi
keperluan BBM negeri ini, dan rakyat harus membeli BBM dari bumi mereka sendiri
dengan harga pasaran dunia kepada asing.
Di
masa depan tampaknya rakyat akan semakin terus kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan BBM ini, karena ketika pimpinan Chevron Corporation dari kantor pusat
Amerika Serikat menemui Wakil Presiden Boediono pada September 2011 lalu, CEO
Chevron John. S Watson memberikan keterangan bahwa, “Saya mengatakan pada Wakil
Presiden bahwa saya berharap Chevron akan berada di sini (Indonesia) 85 tahun
lagi, karena kami memiliki banyak peluang investasi di negeri ini.”
Berdasarakan
telaah pendekatan normatif, ekonomi dan politik di atas tentu tidak benar kalau
API mengatakan pengelolaan energi oleh asing bermanfaat bagi rakyat. Karena
yang terjadi adalah menyengsarakan, rakyat harus membayar mahal Migas yang
notabene milikinya sendiri kepada asing.
Penguasaan
Asing Terhadap Ekonomi Indonesia
Presiden Konfederasi Serikat
Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra menilai Indonesia adalah surga
bagi investor pertambangan asing. Kilau emas kuning dan hitam (migas) sangat
menarik perhatian pengusaha tambang asing untuk mengeruknya dari bumi
Indonesia.
"Penguasaan cadangan migas
oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang di kelola
Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan
perusahaan asing, 28 blok dioperasikan perusahaan nasional serta sekira 77 blok
dioperasikan perusahaan patungan asing dan nasional," ungkap Yusra, dalam
seminar Menegakan Kedaulatan Energi Nasional, di Wisma Antara, Jakarta, Rabu
(20/2/2013).
Yusra menambahkan, pemerintah
menargetkan di 2025 porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen.
"Saat ini porsi nasional hanya 25 persen, sementara 75 persen dikuasai
asing," tambahnya.
Dia menjelaskan, dominasi asing
di sektor pertambangan itu dinilai kian mengkhawatirkan bahkan telah mengancam
kedaulatan perekenomian Indonesia karena menjadikan pertambangan sebagai
komoditas yang tidak memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan rakyat.
"Apalagi 75 persen kuasa
pertambangan telah dikuasai asing. Besarnya dominasi asing disebabkan oleh
kebijakan pemerintah yang terlalu membuka lebar pintu investasi bagi investor
asing di sektor strategis," jelas dia.
makasi infonya bos,sangat bermanfaat
BalasHapusLombok Property
LombokLand for Sale
South Sea Pearls wholesale
Paket Wisata Lombok
Kabar baik untuk semua pelanggan terhormat kami, kami di JUDITH FRANKLIN PINJAMAN PERUSAHAAN tawaran pinjaman dari 2% bunga, tetapi saat ini kami menawarkan pinjaman dari 1,5% bunga karena akhir kami dari bonanza tahun. Anda datang pada waktu yang tepat, kami mendesak Anda bahwa jika Anda mengikuti instruksi dan direktif kami, Anda akan bisa mendapatkan pinjaman Anda dalam waktu 24 jam setelah aplikasi. hubungi kami melalui judithfranklinloanfirm@gmail.com.
BalasHapusTerima kasih Untuk Binaan Anda.
Kabar baik untuk semua pelanggan terhormat kami, kami di JUDITH FRANKLIN PINJAMAN PERUSAHAAN tawaran pinjaman dari 2% bunga, tetapi saat ini kami menawarkan pinjaman dari 1,5% bunga karena akhir kami dari bonanza tahun. Anda datang pada waktu yang tepat, kami mendesak Anda bahwa jika Anda mengikuti instruksi dan direktif kami, Anda akan bisa mendapatkan pinjaman Anda dalam waktu 24 jam setelah aplikasi. hubungi kami melalui judithfranklinloanfirm@gmail.com.
BalasHapusTerima kasih Untuk Binaan Anda.