PEMERINTAH DAN PELAYANAN PUBLIK
A. Pengertian Layanan Publik
Sesungguhnya
yang menjadi produk dari organisasi pemerintahan adalah pelayanan masyarakat
(publik service). Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak masyarakat,
baik itu merupakan layanan civil maupun layanan publik. Artinya kegiatan
pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Ia melekat pada setiap
orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan
secara universal.
Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan
itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan
atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan
pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat,
menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas pelayan lebih menekankan kepada
mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu
proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan
kepada kekuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi
B. Paradigm Pelayanan Publik
Customer driven Government
Menurut
Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) pada dasarnya terdapat dua paradigma
dalam pelayanan publik pertama adalah paradigma pelayanan publik yang
berorientasi pada pengelola pelayanan. Paradigma ini lebih bersifat birokratis,
direktif, dan hanya memperhatikan / mengutamakan kepentingan pimpinan /
organisasi pelayanan itu sendiri. Paradigma ini banyak mendapat keluhan dari
masyarakat pengguna layanan karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat
pengguna layanannya. Masyarakat sebagai pengguna layanan tidak memiliki
kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus
tunduk kepada pengelola pelayanan. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan
paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri pada
kepentingan masyarakat pengguna layanan, pengelola harus mampu bersikap menjadi
pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Paradigma
kedua merupakan paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma
pelayanan publik yang terfokus / berorientasi pada kepuasan pengguna layanan
(customer driven government).
Customer
driven government merupakan prinsip ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan
birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992 : 191).
Prinsip ini menguraikan bahwa pemerintahan yang berorientasi pelanggan adalah
pemerintah yang memenuhi kebutuhan pengguna layanannya, bukan birokrasi.
Kebanyakan
organisasi pemerintah bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka. Mengapa
demikian? Menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana, karena sebagian
besar badan pemerintah tidak memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara
langsung). Disamping itu sebagian pelanggan mereka bersifat captive,
pelanggan ‘paksa’, singkatnya para pengguna layanan mempunyai sedikit
alternatif terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu
birokrasi sering mengabaikan para pengguna layanannya. Birokrat menganggap
bahwa pelanggan mereka adalah eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah
mereka memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat yang diangkat,
pada gilirannya, lebih berorientasi pada pejabat yang mengangkatnya atau
kelompok kepentingan / partai. Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh menyenangkan
pelanggan, badan pemerintah mati-matian untuk menyenangkan kelompok
kepentingan.
Budiono
(2003 : 3) mendefinisikan pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer
driven government) yaitu pemerintah yang meletakkan pengguna layanan sebagai
hal yang paling depan. Oleh karena itu, kepuasan pengguna layanan ditempatkan
sebagai sasaran penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pengguna layanan.
Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan, pemerintah lebih
responsif dan inovatif.
Lembaga
Administrasi Negara (2003 : 27) memberikan ciri-ciri dari paradigma pelayanan
customer driven government, antara lain sebagai berikut : (1) lebih fokus pada
kegiatan fasilitasi untuk berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan
pelayanan masyarakat; (2) lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat; (3) fokus
pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (outcomes); (4) fokus
pada kebutuhan dan keinginan masyarakat; (5) pada hal tertentu, organisasi
pemberi layanan juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang
dilaksanakan; (6) fokus pada antisipasi terhadap permasalahan pelayanan; dan
(7) lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
Berdasarkan
uraian di atas, maka paradigma customer driven government adalah paradigma
pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan
dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu pelayanan atau lebih
populer dengan istilah “putting the customer on the driver seat”.
Tugas Pokok Pemerintahan Modern :
Pelayanan Kepada Masyarakat
Beberapa
pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus
terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain
pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid
(1997, 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata
lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani
masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan
bersama.
Seiring
dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat,
pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber
kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai
oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara
pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan
kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang
berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar
tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini (ibid, 20). Dalam konteks
ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak
semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan
seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta.
Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan
yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi
daerah.
Dampak
reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan
ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan
yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem
pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo,
2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam
wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar
pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman
daerah.
Otonomi
Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan
masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of
power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini,
kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah
daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka
negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap
perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat
globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika
yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan
masyarakat dan kemandirian lokal.
C. Teori konsep kualitas pelayanan
publik
usai
sholat subuh, muncul lagi niat untuk menulis postingan lagi. setelah cari-cari
bahan, akhirnya ketemu satu bahan yg cukup menarik untuk diposting. untuk
postingan kali ini saya tertarik dgn pokok bahasan teori konsep dari kualitas
pelayanan publik. kita mulai dari teori konsep tentang kualitas. menurut goetsh
dan davis (dalam tjiptono, 1996:51) mengartikan kualitas sebagai suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan. berbeda halnya dengan ibrahim (1997:1)
yang mendefinisikan kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang
menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan internal dan
eternal, secara eplixit dan implisit. sedangkan gazpersz (1997:4) membedakan
pengertian kualitas dalam dua pengertian, yaitu : definisi konvensional dan
definisi strategik. definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan
karakteristik langsung dari suatu produk seperti : performansi (performance),
keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika
(esthetics) dan sebagainya. sedangkan definsi strategik menyatakan bahwa
kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan
pelanggan (meeting the needs of costumers). mengacu kepada kedua definisi
tersebut, sehingga menurut gaspersz (1997:5) bahwa : pada dasarnya kualitas
mengacu kepada keistimewaan pokok, baik keistimewaan langsung maupun
keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan serta
segala sesuatu yang bebas dari kekurangan dan kerusakan. sedangkan triguno
(1997:76) mendefinisikan kualitas sebagai : suatu standar yang harus dicapai
oleh seorang/kelompok/lembaga/ organisasi mengenai kualitas sumber daya
manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa
barang dan jasa. selanjutnya ia juga mengatakan bahwa berkualitas mempunyai
arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti
optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat. garvin (dalam
lovelock, 1994; ross, 1993) memahami perbedaan pengertian kualitas dari
berbagai ahli, karena itu garvin mengelompokkan pengertian kualitas tersebut
dalam lima perspektif, dimana kelima macam perspektif inilah yang bisa
menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang
yang berbeda dalam situasi yang berlainan. kelima macam perspektif kualitas
tersebut menurut garvin adalah sebagai berikut : 1. transcedental approach,
yang memandang kualitas sebagai innate excellence, dimana kualitas dapat
dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan. 2.
product based approach, yang menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik
atau atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur. 3. user based approach,
yang memandang bahwa kualitas tergantung kepada orang yang memandangnya,
sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk
yang berkualitas paling tinggi. 4. manufacturing based approach, yang memandang
bahwa kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (comformance to
requirements). dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat
operations driven. 5. value based approach, yang memandang kualitas dari segi
nilai dan harga dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga,
kualitas didefinisikan sebagai "affordable exellence". berdasarkan
uraian di atas, garvin menyimpulkan bahwa pada hakekatnya kualitas akan mengacu
pada kreteria sebagai berikut : 1) kondisi produk/jasa 2) strategi dasar yang
menghasilkan jasa 3) karakerisitik produk 4) keistimewaan produk yang bebas
dari kekurangan dan kerusakan 5) standard yang harus dicapai. kelima kriteria
tersebut pada akhirnya diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan
pelanggan/consumer atau masyarakat. dalam hal ini kualitas suatu produk atau
jasa hanya dapat ditentukan oleh pelanggan sendiri, karena merekalah yang
merasakan produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi baik bisnis
maupun publik. oleh karena itu kualitas selalu berfokus pada pelanggan
(custumer focused quality). kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan
yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan
atau masyarakat secara memuaskan. menurut triguno (1997:78) pelayanan yang
terbaik, yaitu "melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku
sopan, ramah dan menolong, serta profesional dan mampu". sedangkan menurut
tjiptono (1996:58) secara garis besar ada empat unsur pokok yang terkandung di
dalam pelayanan yang unggul (service excellence), yaitu : 1. kecepatan. 2.
ketepatan. 3. keramahan. 4. kenyamanan. keempat komponen tersebut merupakan
satu kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan menjadi tidak excellence
bila ada komponen yang kurang. kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat
memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan
loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi) yang bersangkutan.
selanjutnya wyckof (dalam tjiptono, 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau
layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas
tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan". ini
berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan
diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan,
jika kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang
diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk. dengan
demikian, fungsi pemerintah bukan hanya terbatas pada aktivitas pemberian
pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat tersebut betul-betul berkualitas. berdasarkan
sendi-sendi kualitas pelayanan kepada masyarakat tersebut, maka secara umum
sendi-sendir tersebut telah mencerminkan karakteristik pelayanan yang
diinginkan pelanggan yaitu pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih murah
(cheaper) dan lebih baik (better) (gazperzs, 1997:12)
pemerintah dan pelayanan publik
tujuan
utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban didalam
mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. pemerintahan modern pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. pemerintah tidaklah diadakan
untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.
dalam
ilmu pemerintahan, ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa: sebagai unit kerja
publik, pemerintah bekerja guna memenuhi (memproduksi, mentransfer,
mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang
diperintah sebagai konsumer dan sovereign, akan jasa-publik dan layanan civil,
dalam hubungan pemerintahan.
dengan
demikian, masyarakat sebagai konsumer produk-produk pemerintahan berhadapan
dengan pemerintah sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar, yang
satu tidak berada dibawah yang lain. oleh karena itu posisi yang diperintah
sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign. melalui posisi
sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol
pemerintah, sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap
orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu yang memadai.
lebih
lanjut ndraha (1999:58) mengemukakan bahwa : public dalam public policy yang
menjadi dasar bagi pelayanan-publik adalah hal yang menyangkut kepentingan
masyarakat umum. berbeda dengan jasa-pasar yang dapat dijual-belikan menurut
mekanisme pasar (misalnya jasa bank, jasa swasta, jasa dokter), jasa publik
(produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, dari masyarakat lapisan
bawah, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom, proses produksinya
disebut pelayanan-publik) diproduksi dan dijual-belikan dibawah kontrol
pemerintah.
untuk
mengetahui ukuran yang dipertimbangkan publik dalam menilai kualitas pelayanan,
rene t. domingo dalam triguno (1999:77) mengemukakan bahwa “ dimensi kualitas
pelayanan dapat dikur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan,
kelengkapan, kesiapan, kenyamanan dan lingkungan ”.
bahwa
terdapat perbedaan antara pelayanan dengan layanan, sebagaimana dijelaskan
ndraha (1998:6) “ pelayanan (proses) meliputi input, proses, output dan outcome
sedangkan layanan (output) hanya mencakup output dan outcome saja”. berdasarkan
pemahaman tersebut, maka dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah
outputnya saja (layanan).
pelayanan
kepada masyarakat merupakan suatu bentuk interaksi atau hubungan antara
penyedia layanan dan penerima layanan. dengan kata lain dalam hubungan
pemerintahan terkandung makna adanya organisasi yang memerintah dan masyarakat
yang diperintah.
birokrasi
merupakan organisasi atau unit kerja publik yang berfungsi sebagai provider
layanan. konsep birokrasi yang banyak diterima sampai sekarang adalah teori
yang dikembangkan oleh max weber yang mendefinisikan karakteristik suatu
organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan anggota
organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama.
sebagaimana
dikemukan gibson, et, al, (1989:391) bahwa : birokrasi (berdasarkan konsep
weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam hal ketepatan
stabilitas, disiplin dan kepercayaan. sehingga birokrasi memungkinkan untuk
dapat mencapai efisiensi dan efektivitas.
selanjutnya
thoha (1995:181) menjelaskan bahwa “ kualitas layanan sangat tergantung pada
bagaimana pelayanan itu diberikan oleh anggota dan sistem yang dipakai dalam
organisasi”. artinya aktivitas organisasi adalah aktivitas orang-orang,
sedangkan orang atau manusia adalah unsur utama dalam setiap organisasi.
sebagaimana dikemukakan winardi (1989:1) bahwa : organisasi-organisasi di
bentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan atau sasaran-sasaran tertentu, dan
oleh karena komponen pokok organisasi adalah manusia maka sebenarnya perilaku
organisasi tidak lain dari perilaku manusia di dalam organisasi yang
bersangkutan.
berkenaan
dengan konsep perilaku tersebut ndraha (1999:65) menjelaskan bahwa perilaku
adalah : operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok
dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam,
teknologi atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan
aktualisasi pendirian.
hal
yang sama dikemukakan pula oleh paramita (1985:10) dalam penelitiannya mengenai
struktur organisasi di indonesia, bahwa : posisi semua dimensi struktur
organisasi tertentu akan berbentuk gambaran strukturnya, sehingga mungkin untuk
memberi ciri pada organisasi berdasarkan gambaran strukturnya dan aktivitas
anggotanya.
untuk
itu terdapat beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
perilaku birokrasi suatu organisasi, sebagaimana gibson, et, al, (1989:340)
mengemukakan bahwa : walaupun sulit untuk mendapatkan pemahaman yang universal
tentang dimensi struktural organisasi, namun ada beberapa dimensi yang selalu
mencul dari beberapa pengertian birokrasi suatu organisasi, yaitu formalisasi,
sentralisasi dan kompleksitas.
bagaimana gambaran dari proses
pelayanan publik
dalam
kajian ilmu pengetahuan, konsep pelayanan publik sebenarnya bukan merupakan
konsep yang baru, secara filosofi kemunculan ilmu administrasi negara
sebetulnya terkait erat dengan konsep pelayanan publik. nicholy henry (1988:22)
mengemukakan bagaimana hubungan administrasi negara dengan kepentingan publik. dalam
bahasan tersebut henry menyimpulkan bahwa tuntutan terhadap peran
administration (birokrasi) dalam pelayanan publik telah menjadi kajian yang
sangat filosofis dan berumur panjang jauh sebelum ilmu administrasi negara itu
sendiri muncul dan berkembang. dari analisisnya henry mengemukakan konklusi
bahwa sesungguhnya pelayanan publik merupakan jiwa dasar dari penyelenggaraan
administrasi negara. dalam hubungan ini dapat dipahami jika kehidupan manusia
diwarnai oleh tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya. pemenuhan
kebutuhan hidup terebut ada yang diperoleh melalui mekanisme pasar dan ada pula
yang diperoleh tidak melalui mekanisme pasar.
kebutuhan
manusia yang tidak dapat diperoleh melalui mekanisme pasar antara lain adalah
layanan civil yang hanya disediakan oleh pemerintah. layanan civil tersebut
diberikan oleh pemerintah atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap
warga negara.
dalam
situasi seperti ini tentunya menjadi tugas pemerintah untuk mewujudkan
pelayanan itu. dalam hal ini pemerintah adalah lembaga yang memproduksi,
mendistribusikan atau memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa
pelayanan publik. dengan demikian secara eksplisit dapat dikatakan bahwa
pemberian pelayanan publik merupakan jenis pelayanan yang dimonopoli oleh
pemerintah. hal ini dapat dipahami mengingat pelayanan civil merupakan bagian
dari fungsi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
sebagai
fungsi pemerintah maka pelayanan publik tidak hanya semata bersifat “profit
orientied” tetapi lebih beorientasi sosial, yaitu penguatan dan pemberdayaan
masyarakat. karena itu penentuan dari proses pelayanan publik tidak bisa
dilakukan dengan pendekatan bisnis, tetapi pendekatan yang paling tepat adalah
pendekatan sosial (social approach), karena yang paling tahu akan baiknya
pelayanan yang diberikan adalaha masyara
Daftar Pustaka
R. Wiyono. Hukum Acara Pelayanan punlik.Sinar
Grafika. Jakarta: 2008
S. F. Marbun. Peradilan Administratif Negara
dan Upaya Administratif di Indonesi. Liberty. Yogyakarta: 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar