Rabu, 25 Februari 2015

Orientasi etika dalam birokrasi

ETIKA BIROKRASI & ADMINISTRASI NEGARA
I.       Pengertian
            Istilah birokrasi sering disebut-sebut di masyarakat, sayangnya istilah itu disalah artikan. Hal ini yang tergambar di benaknya tentang birokrasi ialah urusan yang berbelit-belit, pengisian formulir, pengurusan ijin, pengurusan yang lainnya yang melalui banyak kantor, banyak meja, aturan yang berbelit-belit.
            Kalau dilihat dari etimologi istilah birokrasi berasal dari kata Yunani Bureau yang artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Birokrasi sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanan pelayanan public,sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi adalah suatu tipe dari organisasi yang dimaksud untuk mencapai tugas-tugas administrative yang besar dengan cara mengkordinasikan secara sistimatis (teratur) pekerjaan-pekerjaan banyak orang.
            (Peter M Blau :& Marsal W Mayer (1956) Birokrasi mula-mula dibentuk warga supaya keputusan-keputusan pemerintah dapat dilaksanajan dengan sistematis melalui aparat Negara. Keputusan-keputusan politis akan bermanfaat begi setiap Negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang tanggap, sistematis dan efesien.
            Selanjutnya Peter M Blau mengatakan bahwa birokrasi adalah organisasi yang memaksimemkan efesiensi dalam adminitratif, sekaligus menyarankan agar istilah ini digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrative dari organisasi, dengan demikian tujuan organisasi dapat dicapai dengan stabil. Peter Leonard secara singkat mengatakanbahwa birokrasi adalah organisasi yang rational yang melaksanakan tugas-tugas berdasarkan manajemen ilmiah. Oleh karana itu birokrasi dilaksanakan dimana saja baik di Lingkungan pemerintah maupun swasta.
            Biro (bureau) merupakan bentuk organisasi, Menurut Downs (1967) diartikan sebagai bentuk organisasi yang memiliki empat karakteristik utama sbb:
·         Organisasi bersekala besar, memiliki jumlah anggota yang besar.
·         Mayoritas diantara anggota organisasi bekerja secara full time yang menggantungkan pekerjaan pada organisasi untuk mendapatkan panghasilan, diantara mereka memiliki kompetisi yang tinggi dalam memberikan layanan
·         Promosi dalam biro didasarkan atas penilaian kinerja mereka sesuai dengan peran yang dimainkan dalam organisasi, bukan didasarkan atas factor agama, suku, ras. Golongan social dan hubungan keluarga yang secara periodik, memilih pegawai yang berasal dari luar birokrasi.
·         Hasil utama bukan dinilai secara langsung dalam pasar dimana tempat terjadinya transaksi secara sukarela.
            Birokrat sering digunakan dengan berbagai konotasi . Secara individual birokrat dapat di cirikan efesien, jujur, bekerja keras, teliti, public spirit dan nilai- nilai yang pada umumnya berbeda dengan non birokrat.
            Downs akhirnya menyimpulkan bahwa birokrasi itu memiliki tiga pengertian’:
·         Birokrasi menujukkan suatu lembaga atau tingkat lembaga khusus. Dengan kata lain bahwa birokarsi  dinyatakan sebagai konsep yang sama dengan biro (walau tidak semua orang sepandapat)
·         Birokrasi diartikan suatu metode tertentu untuk mengalokasikan sumberdaya dalam organisasi yang berskala besar, (pengertian ini sama dengan pembuatan keputusan birokrasi (bureaucratic  decision making).
·         Birokrasi sering digunakan dari berbagai kesempatan dan jelas setelah dilihat dari konteknya.

            Birokrasi menurut Weber diartikan sebagai birokrasi yang ideal (ideal type of organization). Yang menpunyai cirri-ciri sbb:
·         Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggungjawab yang didifinisikan dengan jelas
·         Diorganisasikan secara hierarki atau adanya komando
·         Pejabat manajerial dipilih dengan kualifikasi teknis yang ditentukan oleh pendidikan dan ujian
·         Peraturan dan pengaturan dibuat mengarah kepada pelaksanaan pekerjaan
·         Hubungan antara menejer dengan bawahan atau antar pegawai bersifat impersonal
·         pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan gaji yang tepat.
            Pembagian pekerjaan dibagi kepada orang-orang yang berada dalam organisasi , deangan prisip The right man on the right place Job.  Pekerjaan dikerjakan oleh orang-orang yang tepat sesuai dengan kecakapan, pendidikan, dan pengalaman yang dimiliki.

                           
No.
Ciri birokrasi                          
Fungsi   
Disfungsi
1.
Pembagian kerja                    
Keahlian
Rasa bosan
2.
Orientasi Impersonal              
Rasionalitas
Mengurangi moralitas
3.
Hierarki wewenang                
Disiplin, Patuh, Koordinasi
Menghalangi komunikasi
4.
Peraturan & Pengaturan
Uniformitas & Kontinyuitas
Kekakuan, Penggeseran tujuan
5.
Orientasi karier
Insentif, prestasi
Konflik senioritas & prestasi


            Walaupun birokrasi ala Weber banyak mendapat kritik disana-sini namun birokrasi Weber ini dapat dijadikan sebuah norma untuk menilai kinerja dari birokrasi tsb. Sebuah nilai yang ingin dicapai oleh Weber ini adalah suatu birokrasi yang ideal, birokrasi yang efisien organisasi.
            Dari Uraian di atas apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan maka birokrasi berkenaan dengan kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat dalam makna birokrasi yang demikian itu Yahya Muhaimin (1991) mengemukakan birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.







II.      Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
            Etika Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai perangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi  (Muhajir Darwin, 1999). Dengan demikian etika Administrasi negara (birokrasi publik) memiliki dua fungsi :
·         Sebagai pedoman, referensi bagi Administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakan dalam organisasi dapat dinilai baik, terpuji dan tidak tercela.
·         Etika Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai standar penilaian sifat, perilaku dan tidakan administrasi negara (birokrasi publik) di nilai baik, terpuji dan tidak tercela.
            Seperti telah dikemukakan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Bahwa etika merupakan cabang dari ilmu filsafat, nilai, dan moral. Etika bersifat abstrak dan mempersoalkan baik dan buruk, bukan mempersoalkan benar dan salah. Sedangkan birokrasi publik (administrasi negara) bersifat kongkrit dan harus mewujudkan apa yang harus di inginkan.(get the job done). Berdasarkan gambaran ini timbul masalah :
            Bagaimana menghubungkan antar birokrasi publik seperti ketertiban, efesiensi, kebijakan publik, kemanfaatan, produktivitas yang dapat menjelaskan etika dalam praktek.
Bagaimana gagasan-gagasan etika seperti mewujudkan baik dan minghidari yang buruk untuk menjelaskan hakekat administrasi publik (birokrasi publik).
            Pertanyaan berikutnya adalah apa yang menyebabkan berkembangnya kajian-kajian mengenai etika birokrasi publik muncul.  Menurut Nicholas Henry (1995) ada tiga faktor  yang menyebabkan konsep etika administrasi negara (birokrasi publik) menjadi berkembang.
Hilangnya dekotomi politik dan administrasi negara
            Tampilnya teori-teori pengambilan keputusan, ketika masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya, yaitu rationalitas, efesiensi.
            Berkembangnya pemikiran-pemikiran pembaruan yang disebutkan sebagai counter  cultur critiqu dalam kelompok Administrasi Negara Baru.



III.        Pentingnya  Etika Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
            Etika yang menganalisis tentang moralitas, yang mempersoalkan tentang baik dan buruk bukan benar dan salah, tentang sikap tindakan dan perilaku manusia dalam hubangan dengan sesamanya dalam masyarakat, organisasi publik atau bisnis, maka etika memiliki peran yang penting dalam praktek administrasi negara (birokrasi publik).
            Dalam paradigma dekotomi politik dan administrasi seperti yang dijelaskan oleh Wilson di jelaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda (two distinct functions of government) yaitu  fungsi politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan publik sedang fungsi administrasi bekenaan dengan pelaksanaan kebijakan publik. Jadi kekuasaan membuat kebijakan publik ada dalam kekuasaan politik dan melaksanakan kebijakan ada dalam administrasi negara. Namun karena administrasi negara (birokrasi publik) dalam melaksanakan kebijakan publik, yakni keleluasaan untuk menafsirkan kebijakan politik dalam bentuk program, proyek maka timbul pertanyaan apakah dalam melaksanakan itu dapat dijamin bahwa itu dilaksanakan dengan baik dan benar. Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi publik). Etika dapat dijadikan pedoman, referensi dan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik. Disamping itu dapat dipakai ukuran nilai atau standar penilaian perilaku, apakah kebijakan itu dijalankan dengan baik.
            Administrasi negara (birokrasi publik) dipandang telah melenceng dari yang seharusnya (Applebei 1952). Administrasi negara (birokrasi publik) selalu dilihat sebagai masalah teknis, bukan dilihat masalah moral sehingga timbul dari berbagai persoalan dalam bekerjanya Administrasi negara (birokrasi publik) (Golembiewski, 1965). Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai organisai yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakat dengan ketiadaan nilai-nilai moral dan etika yang berpusat pada manusia (Hammel, 1987).
            Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa etika diperlukan dalam administrasi negara (birokrasi publik), bukan saja berfungsi sebagai pedoman, referensi dan penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugas, tetapi juga berfungsi sebagi standar dalam menilai apakah sifat dan perilaku serta tindakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.



IV.     Pendekatan Teori Etika dalam Administrasi Negara (Birokrasi Publik)
Kita sudah berbicara berbagai teori etika seperti :
            Deontologi : suatu tidakan dikatakan baik bukan karana tujuan atau akaibatnya baik, tetapi karena kewajiban yang memang tidakan itu harus dilakukan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tidakan itu baik atau buruk. Lalu bagaimana administrasi publik (birokrasi publik) dalam melaksanakan tugasnya dilakukan berdasarkan kewajiban yang di embannya. Dengan demikian tugas-tugas dapat dilakukan dengan penuh tanggung jawab, tidaksekedar main-main. 
            Fox (1994), antara lain mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontologi dalam etika administrasi ini.
            Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembangnya “Administrasi Negara Baru” (antara lain Frederickson dan Hart, 1985). Menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (social equity). Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik, memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, administrasi haruslah membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi. Pandangan ini, cukup berkembang, meskipun di dunia akademik banyak juga pengeritiknya.
           Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan ini              terutama bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika administrasi negara harus mengacu kepada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk kepada konstitusi, yang harus menjadi landasan etika para administrasi di negara itu.
            Ketiga, tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain Denhardt,
1988, 1991). Pandangan ini berpendapat bahwa ada nilai-nilai moral yang bersifat universal yang harus menjadi pegangan bagi administrator publik. Masalahnya di sini ada lah nilai-nilai moral itu sendiri banyak yang dipertanyakan karena beragamnya sumbernya dan juga kebudayaan serta peradaban. (Ginanjar Kartasasmita).

            Teleologi : suatu tindakan dikatakan baik apabila memiliki tujuan dan akibatnya baik. Didalam administrasi publik (birokrasi publik) harus dapat menghasilkan dampak yang baik terhadap seluruh masyarakat. Dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh wrgam masyrakat. Seluruh tindakan yang dilakukan memiliki dampak yang baik. Dengan pendekatan yang pertama adalah apa yang disebut ethical egoism, yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang amat dikenal di sini adalah Niccolo Macheavelli, seorang birokrat Itali (Florensia) pada abad ke -15, yang menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar bagi seorang administrator pemerintah. Namun demikia menurut Khan kedalam melakukan tindakan harus dibarengi dengan niat baik.

V. Prisip Nilai Etika Administrasi Negara (Birokrsi Publik)
            Disamping prinsip-prinsip dasar etika terdapat seperangkat nilai yang digunakan dalam pengukuran administrasi negara (birokrasi Publik), apakah perilaku atau perbuatan administrasi negara (birokrasi Publik) dapat dikatakan baik atau buruk, terpuji atau tercela adalah :
1.      Efesiensi : yang artinya tidak boros.sikap perilaku dan perbuatannya administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan baik apabila efesiien atau tdak boras, artinya dalam penggunaan dana-dana publik atau penggunaan ressources secara efesien dengan hasil yang optimal. Ressources yang dimiliki atau yang disediakan tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas, apalagi untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian nilai efesiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber dana dan sumberdaya yang tepat, tidak boros, dan dapat dipertanggung jawabkan.
2.      Nilai yang membedakan milik pribadi dengan milik dinas. administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah administrasi negara (birokrasi Publik) yang dapat membedakan mana milik pribadi dan mana milik negara /dinas. Artinya mereka tidak akan menggunakan barang milik negara/dinas untuk kepentingan pribadi. Mereka hanya akan menggunakan barang-barang milik negara untuk kepantingan publik/negara
3.      Nilai Responsibel berkaitan dengan tanggungjawab administrasi negara (birokrasi Publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah administrasi negara (birokrasi Publik) yang responsibel. Menurut Carl J. Friedrich merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi tehnik yang dimiliki administrator dalam menjalankan tugasnya. administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan responsibel jika pelakunya memiliki standar profesionalisme atau kompetensi tehnik yang tinggi. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap sikap dan perilaku administrasi negara (birokrasi Publik) harus memiliki standar penilaian tersendiri yang sifatnya administratif atau teknis dan bukan politis. Administrasi negara (birokrasi Publik) harus memiliki rasa tanggungjawab, dengan rasa tanggungjawab mereka akan melaksanakan tugas yang diembanya dengan sepenuh hati. Mereka tidak melakukan korup kendati mereka ada pada lingkungan yang korup. Bahkan mereka ingin merubah lingkungannya dan sistemnya untuk menjadi lebih baik, walaupun ada resiko terhadap dirinya.
4.  Nilai akuntabilitas ; Administrasi negara (birokrasi Publik) yang baik adalah yang akuntabel. Menurut Harry Hatry akuntabel adalah merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur apakah dana publik atau ressources yang ada sudah digunakan dengan tepat guna untuk tujuan yang telah ditetapkan, tidak digunakan untuk yang lain. Sedangkan menurut Herman Finner, akuntabilitas suatu konsep berkenaan dengan dengan standar eksternal yang menentukan suatu tindakan administrasi negara (birokrasi Publik). Akuntabilitas dimulai dari orang atau institusi yang berasal dari luar dirinya, yang sering disebut tanggungjawab yang bersifat obyektif. Administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan akuntabel jika mereka di nilai obyektif oleh orang atau masyarakat atau yang mewakili dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, sikap dan sepak terjangnya darimana wewenang dan kekuasaannya itu diperoleh. Politisi harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada kelompok pemilihnya, Eksekutif harus mempertanggungjawabkan implementasi kebijakan yang dilakukan kepada legislatif. Yang akhirnya baik eksekutif dan legislatif harus mempertanggungjawabkan kepada rakyatnya.
5.   Nilai responsivitas ; yang berkaitan dengan daya tanggap untuk menanggapi yang menjadi keluahan, masalah dan aspirasi publik. Administrasi negara (birokrasi Publik) dikatakan baik apabila administrasi negara (birokrasi Publik) responsif yaitu memiliki daya tanggap yang tinggi dan cepat terhadap apa yang menjadi keluhan, masalah, aspirasi publik dalam membarikan pelayanan publik. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik,dan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya. Ia dapat menangkap aspirasi masyarakat atau masalah yang dihadapi dan berusaha untuk mencari solusinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan atau mengutamakan prosedure tetapi mengabaikan subtansinya. 
6.  Nilai impersonal ; Administrasi negara (birokrasi Publik) dakatakan baik apabila dalam melaksakan hubungan dengan sesama atau antar bagian dalam birokrasi bersifat impersonal artinya dalam melakukan komunikasi bersifat formal, tidak ada hubungan yang bersifat pribadi. Hubungan pribadi hanya dapat dilakukan dilur dinas. Hubungan pribadi harus dihidari agar dalam memberikan pelayanan tidak terjadi penonjolan unsur pribadi dari pada unsur ratio yang menyebabkan ketidak adilan.
7.      Nilai merit system ;  Administrasi negara (birokrasi Publik) dakatakan baik apabila dalam penerimaan atau promosi pegawai tidak dilaksanakan berdasarkan kekerabatan, patrimonial, akan tetapi didasarkan atas pengetahuan, ketrampilan kemampuan dan pengalaman yang oleh orang yang bersangkutan. Dengan dianutnya nilai ini maka akan menjadikan orang-orang yang melaksanakan kebijakan akan menjadi profesional, yang diharapkan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat menjadi lebih baik.   


Daftar Pustaka

Ati, Ayuning Mustika. 2010. Etika Birokrasi dalam Administrasi Publik. (online), http://www.scribd.com/feeds/rss. diakses 23 Maret 2012.
Haryanto. 2002. Kuliah Birokrasi Indonesia. Politik Lokal Otonomi Daerah. Jogjakarta : Program Pascasarjana UGM.
Indrawanto. 2004. Teori Administrasi Piublik dan Birokrasi. Malang : Taroda

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Etika Birokrasi dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi. Yogyakarta. www.ginandjar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar