Jumat, 21 Agustus 2015

Teori Kebijakan Publik Sebagai Proses


Teori Kebijakan Publik

A. Teori Kebijakan Publik Sebagai Proses

Persepsi bersama bahwa masalah ini merupakan masalah yang tepat untuk beberapa satuan pemerintah dan jatuh dalam batas-batas kewenangannya. Sedangkan proses agenda setting terdiri dari tiga tahap menurut Davies, (1) inisiasi, (2) difusi, dan (3) pengolahan. Pada tahapinisiasi, masalah publik menciptakan permintaan untuk tindakan. Pada tahap difusi, tuntutanini dialihkan ke isu-isu bagi pemerintah. Pada tahap pengolahan, masalah diubah menjadiagenda. Davies juga berpendapat bahwa banyak isu yang dimulai dalam pemerintah sendiridaripada asumsi umum bahwa masalah muncul dalam masyarakat umum dan bekerja dengancara mereka ke dalam agenda pemerintah. Proses penyusunan agenda yang sudah dipilah pemerintah dan dimasukan menjadi isumerupakan sesuatu yang dapat dilaksanakan dengan mudah. Karena masalah publik yangditangani pemerintah tak hanya meliputi satu aspek atau publik, sehingga proses  penangananmasalah tersebut menjadi suatu isu pemerintah dan kemudian dipecahkan menjadi satukebijakan dapat memakan waktu yang lama. Untuk mempercepat proses tersebut, peranmedia dibutuhkan untuk mendengungkan masalah public yang ada. Seperti yang diketahuimedia berfungsi mengamati atas suatu permasalahan (Harold laswell dalam Alwi Dahlan,2008) kemudian di publikasikan agar masalah public dapat memperoleh  perhatian masyarakat.

B. Tipologi Isu Kebijakan & Perumus Agenda Kebijakan

Jika masalah-masalah kebijakan benar-benar merupakan keseluruhan dari sistem masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleksnya. Isu-isu kebijakan tidak hanya mengandung ketidaksetujuan mengenai serangkaian aksi yang aktual atau potensial; tetapi juga mencerminkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat dari masalah-masalah itu sendiri. Kompleksitas isu-isu kebijakan dapat diperlihatkan dengan mempertimbangkan  jenjang organisasi di mana isu-isu itu diformulasikan. Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan sesuai dengan hirarki dari tipe: utama, sekunder, fungsional, dan minor. Isu-isu utama (major issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di antara  jurisdiksi/wewenang federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu utama secara khusus meliputi  pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu pertanyaan mengenai sifat dan tujuan organisasi-organisasi pemerintah. Isu seperti apakah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat harus berusaha menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan mengenai misi lembaga. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas program dan definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu mengenai bagaimana mendefinisikan kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua. Sebaliknya, isu-isu fungsional (functional issues), terletak di antara tingkat program dan proyek, dan memasukkan pertanyaan- pertanyaan seperti anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu minor (minor issues), adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek- proyek yang spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.
Jones menyatakan bahwa  ‘’not all problems become public, not all public problems became issues, and not all issues are acted on in government agenda’’.

( tidak semua masalah dapat menjadi masalah umum/public, dan tidak semua masalah public dapat menjadi issu, dan tidak semua issu dapat menjadi agenda pemerintah). Apabila menginginkan suatu kebijakan publik mampu memecahkan masalah publik (public problem), masalah publik harus dirumuskan menjadi masalah kebijakan (policy  problems). Menurut Tomas Dye, tahapan mendefinisikan masalah itu disebut Agenda Setting. 
Kondisi masyarakat yang tidak didefinisikan sebagai masalah dan alternatif solusi tidak  pernah diusulkan, tidak akan pernah menjadi isu kebijakan ( policy issues). Kegiatan menjadikan masalah publik ( public problems) menjadi masalah kebijakan ( policy problems) sering disebut dengan penyusunan (agenda setting).
 Agenda setting
adalah sebuah fase dan  proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Karena dalam proses inilah ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda  publik dipertarungkan. Penyusunan agenda pemerintah (agenda setting ) dimulai dari kegiatan fungsional, meliputi Persepsi, Definisi, Agregasi, Organisasi dan Representasi; yang bermuara pada terusungnya suatu masalah publik dan atau suatu isu publik menjadi suatu masalah yang oleh  pemerintah (pembuat kebijakan) dianggap penting untuk dicari jalan keluarnya melalui kebijakan publik. Produk riil dari proses penyusunan agenda pemerintah adalah terakomodasinya kepentingan publik (masalah publik) menjadi opini publik, kemudian menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya menjadi masalah prioritas yang akan dicarikan  penyelesaiannya.

C. Model Penetapan Agenda Kebijakan

Cobb, Ross, dan Ross dalam Stewart mengidentifikasi tiga model yang berbeda dari agenda setting.
Model pertama adalah model inisiatif luar, yang sangat mirip dengan modelasli diusulkan oleh Cobb dan Elder. Model kedua mereka adalah model mobilisasi, dimanaisu-isu tersebut dimulai di dalam pemerintahan dan status agenda akhirnya tercapai. Model kedua ini mirip dengan yang disarankan earlierby Davies. Model ketiga mereka disebut model inisiatif dalam, yang menggambarkan sebuah proses di mana masalah muncul dalam pemerintah tetapi tidak diperluas ke masyarakat umum. Pendukung isu itu diinginkan untuk menjaga masalah dalam arena pemerintahan secara eksklusif. Cobb & Elder (Anderson, 1979) mengklasifikasikan agenda kebijakan atas dua jenis, yaitu: 
1. Agenda Sistemik (systemic agenda): terdiri atas semua isu yang dipandang secara umum oleh anggota masyarakat sebagai masalah yang patut memperoleh perhatian  publik, mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap  jenjang pemerintahan masing-masing. 
2. Agenda Pemerintah (governmental agenda): adalah serangkaian masalah yang secara tegas mendapat perhatian aktif dan serius dari pembuat kebijakan, guna mendapatkan  penyelesaian melalui kebijakan publik yang otoritatif. Kapan suatu isu kebijakan menjadi Systemic Agenda ?

Adanya persepsi yang sama dari masyarakat, bahwa masalah itu adalah merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang syah dari beberapa unit pemerintahan (Cobb dan Elder dalam Jones 1984). Apabila sejumlah masalah publik telah tampil sebagai agenda pemerintah, langkah selanjutnya adalah kewajiban pembuat kebijakan untuk memprosesnya dalam beberapa fase  berikut (Jones, 1996):
1. Problem definition agenda → pada fase ini masalah publik dirumuskan dan mendapat
 perhatian serius dari pembuat kebijakan.
2. Proposal agenda → pada fase ini masalah publik telah mencapai tingkat diusulkan
untuk menjadi kebijakan publik; jadi ada pergeseran dari perumusan masalah menuju  pemecahan masalah. 
3. Bargaining agenda → pada fase ini usulan - usulan kebijakan ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara aktif dan serius. 
4. Continuing agenda → pada fase ini suatu masalah didiskusikan dan dinilai secara
terus menerus (terikat dengan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus  pula) sampai agenda ini dinyatakan gagal atau berhasil menjadi kebijakan publik. Kondisi Nondecision-making Peter Bachrach dan Morton Baratz (dalam Islamy, 2005) memberikan pendapat mengenai tindakan untuk tidak membuat keputusan (nondecision-making) yang diambil oleh  para pembuat kebijakan merupakan suatu cara dengan mana tuntutan-tuntutan untuk melakukan perubahan terhadap pengalokasian keuntungankeuntungan dan hak-hak istimewa  pada masyarakat dapat ditekan atau dihilangkan bahkan sebelum sempat disampaikan, atau dibiarkan tetap tertutup; atau dimatikan sebelum hal tersebut memperoleh kekuatan untuk  bisa muncul dalam arena pembuatan kebijakan yang sesuai. Penolakan tersebut mungkin dapat dilakukan dengan cara: 
1. Menggunakan kekuatan (kekuasaan) tertentu, atau dengan kata lain menggunakan tekanan;
2. Mungkin juga menggunakan nilai-nilai dalam masyarakat (ataupun para pembuat kebijakan) untuk menolak pembuatan keputusan dan kebijakan tersebut; dan 
3. Karena untuk mempertahakan status-quo sehingga pembuat keputusan tidak merumuskan kebijakan dengan alasan untuk menghindari atau menghilangkan konflik yang terjadi diantara para pembuat kebijakan.  Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa pendapat Thomas Dye mengenai definisi kebijakan publik yaitu bahwa membuat keputusan ataupun tidak membuat keputusan pada dasarnya sama-sama membawa konsekuensi bagi masyarakat.

D. Faktor-Faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan

a. Faktor Politik. Dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai faktor kebijakan (policy aktor), baik aktor – aktor dari kalangan pemerintah (Presiden, menteri,  panglima TNI dan lain-lain), maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, media massa, LSM dan lain-lain).  
b. Faktor Ekonomi / Finansial. Faktor ini perlu dipertimbangkan, terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam negara/daerah, seperti yang kita ketahui bersama, sejak diberlakukannya Otonomi Daerah kepada Kabupaten/Kota di Indonesia, sejak saat itu pula semua daerah sudah berlomba-lomba untuk membuat/memunculkan ide-ide baru dalam bentuk kebijakan tanpa memperhatikan keuangan daerah, sehingga banyak pula daerah dalam pelaksanaan anggaran mengalami defisit, dan jelas hal ini mempengaruhi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan  pembangunan masyarakat. 
c. Faktor Administrasi / Organisatoris.
 Apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administrative yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu. Dalam kemampuan administrative termasuk kemampuan Sumber Daya Aparatur yang melaksanakan kebijakan pemerintahan, kadang kala banyak dipaksakan dengan Sumber Daya yang ada, misalnya dengan terbukanya aturan untuk memperbolehkan daerah melakukan pemekaran daerah, maka dengan segala usaha dan upaya yang ada Provinsi, Kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran, bayangkan saja sekarang saja untuk Indonesia keadaan tahun 2013 sudah ada 34 Provinsi dengan 497 Kabupaten/Kota, tetapi pertanyaan yang timbul apakah Sumber Daya Aparatur yang mendukungnya sudah sesuai dengan kompetensi (persyaratan) yang sudah ditetapkan oleh aturan tersendiri. Kemudian apakah organisasi pemerintah daerah yang dibentuk sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan  pembentukan organisasi (tidak tumpang tindih/overlaping). Apalagi sesuai konsep reformasi  birokrasi yang sedang diakbarkan mulai dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penataan kelembagaan tidak boleh adanya tumpang tindih antara organisasi yang satu dan yang lainnya, seandainya ini terjadi harus dilakukan evaluasi kembali. 
d. Faktor Teknologi. Apakah teknologi yang ada dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan, apabila kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan. Secara kenyataan teknologi yang ada pada  prinsipnya dapat mendukung kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, tetapi kadang kala  permasalahan adalah yang mempergunakan teknologynya (SDM) tidak siap dengan teknology yang ada, contoh sederhana perangkat komputer / laptop hanya dipergunakan kebanyakan untuk mengetik, dan kalau dilihat kepada program-program yang ada dalam  perangkat tersebut mampu mengimplementasikan untuk kegiatan-kegiatan/penciptaan lainnya tergantung kepada kesiapan SDA nya. 

e. Faktor Sosial, budaya dan Agama. Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya dan agama atau yang sering disebut masalah SARA, seperti yang baru terjadi di Kota Padang dalam rencana pembangunan Rumah Sakit SLAOM dan kegiatan ekonomi, dikritik oleh masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat, karena akan berpengaruh tegaknya agama Islam. Hal ini  juga harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah, disatu sisi Pemerintah ingin memajukan daerah dan meningkatkan ekonomi masyarakat dengan mendatangkan investor luar untuk membangun daerah, dan disatu sisi masyarakat juga melakukan protes terhadap rencana pembangunan tersebut, maka disinilah yang diperlukan sekali Sinergi antara masyarakat dan  pemerintah sehingga mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama dalam membangun daerahnya
f. Faktor Pertahanan dan keamanan. Apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tidak akan mengganggu stabilitas keamanan negara/daerah, misalnya dalam pembangunan gerbang batas negara/daerah yang kadang-kadang dapat menimbulkan konflik antar daerah dan masyarakat, maka itu yang sangat diperlukan disini adalah melakukan sosialisasi dengan  berbagai pihak yang terkait dan koordinasi antara negara dengan negara atau antara daerah yang berbatasan.




                      DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Riant, 2004, Kebijakan Publik “Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi”, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Presindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar